Agaknya kita harus kembali mempertimbangkan predikat - predikat yang diberikan bangsa lain kepada bangsa Indonesia, sebagai bangsa yang cinta damai dan ramah - tamah. Faktanya banyak peristiwa - peristiwa yang terjadi baik saat ini atau di masa lalu yang menunjukkan tindak kekerasan yang dilakukan bangsa Indonesia.
Kekerasan yang saat ini terjadi di berbagai daerah Indonesia tidak serta - merta terjadi begitu saja. Beragam hal menjadi faktor pendorong kekerasan tersebut. Tetapi sebenarnya kekerasan bukanlah hal baru di Indonesia. Sejak zaman Hindu - Budha banyak peristiwa kekerasan yang terekam dan dicatat oleh manusia. Seperti pada peristiwa peperangan yang dilakukan Sriwijaya sekitar tahun 682 M saat menyerbu Melayu (Munoz:2009). Tidak hanya itu, peristiwa legitimasi kekuasaan dan asmara Ken Angrok yang melegenda pada abad ke 13 M juga mencirikan tindakan kekerasan tersendiri. Dia membunuh Tunggul Ametung raja sekaligus suami dari Ken Dedes perempuan yang dicintainya.
Tidak berhenti sampai disitu, pada zaman Islam di Indonesia juga terjadi tindak kekerasan yang sama. Seperti diketahui bahwa pada sekitar tahun 1637 Amangkurat I dari kerajaan Mataram Islam pernah membunuh 6000 umat Islam karena menentang kebijakannya bekerjasama dengan VOC (Suryanegara:2009). Selain itu Amangkurat I kerap melakukan peperangan terhadap kerajaan Banten dan Surabaya. Di Sumatera juga terjadi tindak kekerasan yang dilakukan pasukan Padri saat menyerang orang Batak di tanah Batak pada sekitar tahun 1816 (Sangti:1977).
Timbul anggapan bahwa tindak kekerasan yang dilakukan pada masa lalu wajar terjadi. Ini sebagai konsekuensi hidup pada zaman itu, “siapa yang kuat, dia yang menang”. Tidak sama halnya dengan peradaban yang telah modern setelah kontak dengan Belanda sebagai negara penjajah. Pada awal abad ke 19 peperangan antar kerajaan pribumi telah berkurang. Kerajaan - kerajaan pribumi lebih fokus melawan Belanda atau sebaliknya bagi kerajaan yang bekerja sama dengan Belanda mereka lebih fokus memperkaya diri dan keluarga kerajaan.
Namun ada beberapa peristiwa terjadi di beberapa daerah yang cukup memilukan pada masa kolonial Belanda. Salah satu dampak yang diterima bangsa Indonesia dari kehadiran Belanda di Indonesia adalah berkembangnya aliran ideologi komunis yang saat itu berkembang di Eropa. Hidup dengan penindasan, membuat rakyat Indonesia dengan mudah menerima aliran ideologi komunis tersebut, karena memiliki tujuan yang sesuai yakni terlepas dari belenggu penjajahan dan memiliki persamaan hak.
Sebagai contoh di Silungkang Sumatera Barat pada tahun 1927 terjadi pemberontakan komunis yang dilakukan kelompok M. Yusuf. Mereka melakukan pembantaian terhadap orang pribumi yang dianggap bekerjasama dengan Belanda dan juga orang Belanda sendiri (Zed:2004). Tindakan ini didasari kebencian rakyat terhadap Belanda yang menindas rakyat, begitu juga dengan orang pribumi yang hidup mewah dengan menjadi antek - antek Belanda.
Berbeda dengan pemberontakan Silungkang, di Banten juga terjadi pemberontakan yang dilakukan para petani pada tahun 1888. Pemberontakan ini dipelopori oleh para ulama Islam yang menyuarakan perang Sabil di jalan Allah melawan Belanda dan pengikutnya (Kartodirdjo:1984). Mereka menganggap bahwa Belanda sebagai orang kafir (non Islam), tidak boleh memerintah umat Islam. Pemberontakan ini juga merupakan buntut dari kebencian rakyat kepada Belanda yang menindas rakyat. Rakyat yang emosi menjadi bringas dan tidak terkendali ketika menyerbu kota Cilegon. Mereka membantai seluruh rakyat pribumi yang bekerja untuk Belanda, begitu juga dengan orang Belanda.
Setelah bangsa Indonesia merdeka pada tahun 1945, masalah kekerasan tidak serta - merta berhenti. Belum genap usia republik Indonesia mencapai tiga tahun, pada tahun 1948 terjadi lagi tindak kekerasan yang dipelopori komunis yang dipimpin Muso di Madiun (Suryanegara:2010). Di Madiun kaum komunis melakukan kekerasan dan pembantaian terhadap ulama dan pejabat pemeritah Indonesia. Tanah dan harta orang kaya di rampas oleh kaum komunis.
Menyikapi tindakan kekerasan dan kudeta yang dilakukan kaum komunis yang dipimpim Muso, pasukan divisi Siliwangi bergerak cepat. Pasukan divisi Siliwangi dengan segera melakukan tindakan penangkapan terhadap seluruh pemberontak komunis. Terjadi kontak senjata antara pasukan divisi Siliawangi dengan pemberontak komunis. Muso terbunuh dalam peristiwa kontak senjata tersebut, sedangkan Amir Sjarifudin ditangkap di dekat Semarang oleh pasukan divisi Pasopati dan dihukum mati.
Tindak kekerasan yang dilakukan pemerintah terhadap kaum pemberontak merupakan hak ekslusif. Seperti yang diungkapkan Weber bahwa negara memiliki hak ekslusif dalam menggunakan kekerasan dalam menghadapi musuh atau dalam menghukum orang yang bersalah.
Kekerasan yang sangat dahsyat kembali terjadi pada tahun 1965. Terjadi suatu pembantaian berdarah yang dilakukan PKI pimpinan Aidit terhadap tujuh jenderal republik Indonesia. Mereka berupaya merubah ideologi negara pancasila, dengan ideologi komunis. Dengan sigap tentara menumpas gerakan pemberontakan PKI tersebut pada tanggal 1 Oktober 1965.
Tidak berhenti sampai disitu, rakyat yang terkejut dan marah terhadap tindakan PKI tersebut, spontan melakukan serangan balasan. Mereka memburu dan membunuh orang - orang yang dicurigai terlibat dengan PKI. Salah satu contoh seperti yang dikatakan Cribb bahwa ribuan orang yang diduga terlibat PKI terbunuh di Bali akibat perang saudara. Peristiwa pemberontakan PKI itu memiliki dampak yang luar biasa dalam hal kekerasan balasan yang dilakukan rakyat terhadap orang PKI di berbagai daerah di Indonesia.
Dari rentetan peristiwa masa lalu tersebut, dapat disimpulkan bahwa kekerasan kapan, dimana dan kepada siapa saja bisa terjadi. Faktornya adalah adanya rasa ketidakpuasan, kekecewaan dan kemarahan terhadap setiap orang atau kelompok yang dianggap merugikannya. Tidak ada solusi yang paling tepat selain meningkatkan kesabaran dan kembali mengaplikasikan falsafah bangsa Indonesia yang sudah mulai terlupakan yaitu musyawarah untuk mencari jalan keluar.
Oleh : H. Harahap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar