SRUKTUR POLITIK NEGARA-NEGARA MERDEKA di ASIA TENGGARA
Oleh : Deka M.S.
A. PENGANTAR
Pasca menyerahnya Jepang pada pasukan sekutu, hampir semua daerah pendudukan Jepang di Asia Tenggara mengalami kekosongan kekuasaan (vacum of power). Penindasan yang dialami
daerah Asia Tenggara (kecuali Thailand) melahirkan kesadaran nasional di
kalangan bangsa-bangsa di Asia Tenggara yang mencapai puncaknya pada
pembentukan negara nasional.
Meskipun pola
umum perjuangan dalam
membentuk negara merdeka di Asia Tenggara didasari oleh nasib
(penjajahan dan penindasan) yang sama,
namun karena adanya
faktor-faktor intern dan
ekstern yang berbeda-beda,
maka menyebabkan corak dan dinamikanya pun berbeda. Oleh karena itu
tidak mudah pula melihat perkembangan dan pembentukan negara
nasional di Asia Tenggara.
B. PEMBAHASAN
a) Struktur politik negara-negara
merdeka di Asia Tenggara secara umum
Berdasarkan administratif pemerintahan, di Asia Tenggara pasca perang dunia II terbentuk sepuluh negara merdeka: enam berada di daratan
benua Asia (Mainland Southeast Asia) Kamboja, Laos, Vietnam
(disebut kawasan Indocina), Thailand,
Malaysia dan Myanmar, dan empat negara berada di pulau
dan kepulauan sekitarnya ( Insular Southeast Asia) Singapura, Brunei, Indonesia, dan Filipina.
b) Bentuk negara dan sistim
pemerintahan
Pada
dasarnya semua negara di asia tenggara berbentuk republik kecuali Thailand, Malaysia
dan Brunai. Adapun yang paling terkhir mengalami perobahan struktur
pemerintahan dari sistim kerajaan ke sistim republik adalah Laos dan Kamboja.[1]
Barangkali hanya Asia Tenggaralah yang
memiliki hampir semua corak pemerintahan, dari sistem monarki absolut (Brunei)[2], monarki konstitusional (Thailand,
Malaysia)[3],
demokrasi liberal (Filipina), demokrasi sosialisme,
(Vietnam, Kamboja dan Laos), diktator
militer (Myanmar), quasi-demokrasi (Singapura), demokrasi Pancasila (Indonesia).
c) Pembentukan Negara Nasional di Asia
Tenggara
Terbentuknya
negara nasional dengan struktur politik yang beragam di Asia Tenggara pasca
kolonial tidak terlepas dari pengaruh internal dan eksternal, diantaranya:
1. Ideologi.
Sebagian negara-negara Asia Tenggara mengikuti jalan komunis
sebagian lagi mengikuti jalan liberal. Bentrokan yang keras antara penganut
komunis dan liberal terjadi
ketika Perang
Dingin. Perbedaan ideologi ini menjadi
sumber konflik di Asia Tenggara, baik konflik dalam negeri (nasional) atau pun konflik kawasan (regional). Perbedaan idiologi seringkali
menimbulkan perang saudara di beberapa negara Asia Tenggara. Sebagai contoh perang
Vietnam, yang berujung pada kemenangan komunis Vietnam dibawah pimpinan Ho Chi
Minh menciptakan Republik Sosialis Vietnam. Begitupun dengan Laos, kemenangan
komunis Phatet Lao melawan kelompok
nasionalis, meruntuhkan sistim monarki dan menggantinya dengan Republik Rakyat
Laos yang berpaham komunis. Sementara Philipina yang mengalami pendudukan Amerika,
mengikuti sistim liberal seperti Amerika Serikat.
2. Sistem politik.
Negara-negara Asia Tenggara
memiliki berbagai sistem politik yang unik. Thailand dan Malaysia masih
memiliki sistem kerajaan yang sejajar atau beriringan dengan sistem politik
modern. Singapura menerapkan sistem politik ala Barat tetapi masih memelihara
tradisi. Filipina sama sekali menganut sistem politik yang liberal persis
seperti Amerika Serikat. Sebaliknya Brunei masih dipimpin seorang Sultan,
mengingatkan pada sistem kesultanan masa lalu. Sementara itu negara-negara
Indocina bertahan dengan sistem sosialis yang sentralistis.
3. Instabilitas internal dalam setiap unit sistem politik masing-masing negara.
Di setiap negara Asia Tenggara senantiasa terdapat akar-akar dan potensi
konflik internal. Berbagai pemberontakan dan gerakan separatis
mengancam keutuhan negara-negara asia tenggara. Pada
saat terbentuknya negara-negara modern di Asia Tenggara, mereka tidak
lagi bersatu berdasarkan kesamaan etnisitas dan identitas, melainkan sudah
menentukan dirinya berdasarkan identitas kewarganegaraana negara modern yang
terbentuk itu. Dengan kata lain, warisan kebijakan kolonial di masa lalu
meninggakan bom waktu dalam pembentukan negara merdeka.
d) Ciri-ciri struktur politik
negara-negara asia tenggara
1. konfigurasi (distribusi
dan tingkat) kekuasaan
dalam struktur politik.
Munculnya kekuatan politik yang dominan (mayoritas) yang menekan minoritas menyebabkan
negara-negara Asia Tenggara sering dilanda konflik internal. Di sini dapat disebut
bahwa adanya hegemoni dari kekuatan mayoritas, baik etnik
maupun golongan dalam mendominasi percaturan politik negara ditentang kekuatan minoritas.
2. Permasalahan Integrasi Nasional.
Pada
awal pembentukan negara-negara merdeka di asia tenggara, masalah integrasi
menjadi persoalan yang rumit, baik masalah integrasi nasional yang berkaitan
masalah etnik ataupun ideologi. Tingkat integrasi di masing-masing negara tergantung daripada
karakter dan frekuensi interaksi diantar anggota kekuatan politik internal di masing-masing negara.
3. Hubungan antara sistem subordinat dengan dominan.
Ciri umum struktur politik di negara-negara Asia
Tenggara terlihat adanya penetrasi kekuatan politik dominan. Misalnya sistim politik Burma (Myanmar) pasca
merdeka yang dikuasai orang Burma yang menyebabkan suku bangsa Karen, Shan,
Kachin dan Chin mengangkat senjata melawan pemerintahan Myanmar. Selain di
Myanmar, di Malaysia pun, etnik melayu menguasai politik negara tersebut,
sehingga menimbulkan pertentangan dengan etnik Cina dan India.
4. Keterlibatan militer dalam politik di
negara-negara asia tenggara
Munculnya generasi perwira baru pasca kolonial membawa persepsi ideologis,
peranan, serta tingkah laku yang berbeda. Apalagi jika diingat perwira-perwira
ini direkrut dari lapisan menengah, yang makin kuat di semua negara tersebut.
Karena itu, makin terbuka ide-ide reformasi, serta
kecenderungan untuk memperkuat lembaga politik nonmiliter di negaranya
masing-masing.
Peranan politik tentara Burma,
yang sejak zaman pendudukan Jepang sudah merupakan pelopor perjuangan
kemerdekaan di bawah kepemimpinan "30 Thakin", yang dilatih Jepang di
Pulau Hainan. Kekacauan-kekacauan yang
terjadi setelah kemerdekaan, khususnya pada akhir 1948, ketika 60 pcrsen
tentara berada di pihak pemberontak (komunis dan separatis Karen), berlanjut
selama 1950-an dalam berbagai krisis, tentara Burma kemudian mengambil alih
kekuasaan dari tangan PM U Nu pada 1962. Selama periode kritis itu, tentara
sebagai suatu lembaga politik juga dipersonifikasikan dalam diri Ne Win, yang
sejak 1945 menjadi Pangab Burma, dan satu-satunya yang tetap di militer dari
"30 Thakin" tadi. Ne Win berhasil melembagakan peranan militer dengan
dibentuknya partai tunggal BSPP (Partai Program Sosialis Burma) pada 1964. Pelembagaan politik ini dimungkinkan karena pimpinan tentara Burma
dari generasi Ne Win adalah bekas aktivis mahasiswa radikal, yang dalam
persepsi politiknya melihat bahwa dominasi militer hanyalah suatu proses
transisi sampai terbentuknya partai tunggal yang didukung negara.
Di Muangthai, kudeta-kudeta militer seringkali
terjadi. Hampir setiap pemilu yang diadakan di negeri ini terjadi percekcokan
antara sipil dan militer yang seringkali berujung kudeta. Namun satu yang perlu dicatat,
setiap kali terjadi kudeta, kedudukan raja tidak pernah diusik-usik.
Begitupun
di Indonesia dengan konsep Dwifungsi ABRI di masa Suharto, yang mencakup fungsi sospol di samping fungsi hankam. khususnya dalam
pelembagaan politik ABRI.
Namun
berbeda dengan Singapura dan Malaysia justru didominasi oleh pemerintahan sipil tanpa keterlibatan militer dalam
politik praktis. Pemuda-pemuda Singapura
harus dipaksa masuk militer. Akibatnya, banyak yang keluar setelah masa
dinasnya selesai atau terjadi kecenderungan ke arah terbentuknya
"perwira-sarjana". Pembangunan ekonomi memang menyebabkan
lulusan-lulusan terbaik masuk ke birokrasi sipil ataupun ke
perusahaan-perusahaan. Terpaksa, gaji
perwira-perwira dibuat setinggi-tingginya, demikian juga fasilitas lainnya,
untuk mengimbangi itu. Tak heran bila Singapura, yang diperintah sipil,
tercatat sebagai negara yang mempunyai anggaran belanja hankam paling tinggi di
Asia Tenggara.
Dibandingkan Singapura, tentara Malaysia berbeda dalam satu hal penting,
yakni adanya masalah etnis. Seluruh
tentara Malaysia terbagi atas 64,5 persen orang Melayu dan 35,5 persen orang
non-Melayu (data 1969). Persentase ini makin besar untuk orang Melayu pada
tingkat perwira, dan boleh dikatakan jabatan penting semuanya di tangan orang
Melayu. Dengan demikian, hak-hak istimewa orang Melayu pada Konstitusi
dicerminkan terutama Angkatan Bersenjata Diraja, yang jabatan-jabatan puncaknya
juga dipegang oleh perwira yang memiliki ikatan sosial dengan keluarga kerajaan
dan pimpinan UMNO. Dari sudut ini Angkatan Bersenjata "menjamin" bagi
dominasi Melayu, yang dicerminkan oleh kekuatan pamungkas, RMR (Royal Malay
Regiment -- Resimen Melayu Kerajaan).
Vietnam-Laos-Kamboja,
dimana dominasi militer di akomodasi Partai Komunis dengan adannya
Komite Militer Pusat Partai, yang memiliki komissar sampai ke tingkat paling
bawah dari hirarki militer.
Filipina, gejala seperti yang terjadi di Muangthai, yakni perbedaan dalam
korps perwira. Protes perwira-perwira "reformis Yang tidak puas dengan kebijakan negara, terutama jika terjadi
kekacauan dalam sistem politik Filipina.
C. PENUTUP
Penindasan yang cukup lama, mendorong kesadaran nasional (nasionalisme)
di kalangan bangsa-bangsa di Asia Tenggara. untuk membentuk negara nasional
yang berdaulat, walaupun perkembangan pembentukan masing-masing negara di Asia
Tenggara itu berbeda dalam corak dan dinamikanya. Berbagai
polemik-polemik harus dihadapi negara-negara Asia Tenggara dalam membentuk
suatu identitas negara-bangsa (nation
state) yang berdaulat. Pembentukan negara-negara nasional di Asia Tenggara
paska-kemerdekaan dengan struktur politik yang beragam menciptakan
banyak permasalahan yang adakalanya menimbulkan kekacauan politik yang berimbas
timbulnya perang saudara. Semua peristiwa ini telah mentransformasikan kawasan
ini menjadi bagian yang sangat strategis sekaligus sensitif dalam percaturan politik internasional.
DAFTAR PUSTAKA
AM. Sardiman. 1973. Kemenangan
Komunis Vietnam dan
Pengaruhnya Terhadap Perkembangan
Politik di Asia Tenggara. Yogyakarta: Liberty
Budiono Kusumohamidjojo. 1985. Asia Tenggara Dalam Perspektif
Netralitas dan Netralisme. Jakarta: PT. Gramedia
Djalinus Syah. 1988. Mengenal ASEAN dan Negara-negara Anggotanya. Jakarta: Kreasi Jaya Utama
Hall, DGE. 1988. Sejarah Asia Tenggara. Surabaya: Penerbit Nasional
Roeslan Abdulgani. 1978. Asia Tenggara
di Tengah Raksasa
Dunia. Jakarta: Lembaga
Pembangunan,
Wiyono. 1982. Sejarah
Asia Tenggara Modern. Yogyakarta: IKIP Sanata
Dharma
[1] Sejak masa negara tradisional, Kamboja dan Laos berbentuk monarki
(kerajaan). Namun pada tanggal 9 Oktober 1970 pasca kudeta jendral Lon Nol
terhadap kekuasaan Sihanouk, bentuk kerajaan Kamboja dirubah menjadi Republik Khmer. Begitupun
dengan Laos, pada tanggal 1 Desember 1975, raja Savang Vattana turun tahta dan
kekuasaan diambil alih oleh Souvanna Vong yang merubah bentuk negara menjadi Republik Rakyat Laos.
[2] Sultan kerajaan Brunai berperan tidak hanya sebagai kepala negara,
namun juga menjabat sebagai kepala pemerintahan, pemimpin politik dan pemimpin
agama bagi bangsanya.
[3] Dalam sistm monarki konstitusional, raja hanya sebagai simbol
belaka karena pembatasan konstitusi. Pemerintahan dijalankan oleh perdana
menteri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar