Senin, 08 Oktober 2012

PERS PERGERAKAN NASIONAL


Oleh : Didik Pradjoko
        
        Perkembangan media cetak sudah muncul sejak adab ke-18, ketika VOC menerbitkan laporan-laporan kegiatan VOC dan berita-berita lelang dalam Bataviasch Nouvelles tahun 1745, yang kemudian disusul oleh penerbitan berbagai Koran berita, perdagangan (handelsblad) dan advertentieblad (iklan) yang didirikan oleh orang Belanda sampai abad ke-19. Pada abad ke-19 inilah akibat perubahan sosial, ekonomi dan teknologi yang semakin maju muncul juga Koran dan majalah berbahasa Melayu baik yang diterbitkan oleh kalangan Belanda, Indo Belanda dan Tionghoa. Seperti Soerat Kabar Berbahasa Melaijoe (Surabaya, 1856), Slompret Melayoe (Semarang, 1860), Bintang Timur (Surabaya, 1862 dan Padang 1865). Selain itu yang cukup menarik adalah munculnya Koran-koran berbahasa daerah baik yang ada di Jawa maupun daerah luar Jawa.[1]

            Koran-koran Jawa misalnya diterbitkan awalnya oleh kalangan Belanda dan Indo Belanda, seperti Bromartani terbit tahun 1855 di Surakarta diawaki oleh C. F. Winter yang ahli bahsa dan budaya Jawa. Namun penggunaan aksara dan bahasa Jawa dalam Koran tersebut membuat tertobosan baru mengingat banyak orang Jawa yang belum dapat membaca huruf latin atau menggunakan bahasa Melayu. Sebagai catatan pada awal abad ke-20 sebagian besar masyarakat Indonesia belum dapat menggunakan bahasa Melayu yang hanya dipergunakan sebagian penduduk di Sumatera dan daerah-daerah yang menggunakan dialek Melayu, selain sebagai bahasa pengantar tidak resmi di kalangan masyarakat di kota-kota dagang di Indonesia.
            Daya tarik Koran-koran yang diterbitkan pada waktu itu adalah berisi pemberitaan tentang kisah-kisah sejarah, sastra, berita pemerintah, pelelangan barang, mutasi pejabat, berita tetrkait pertanian, industri, berita lokal dan bahkan berita dari luar negeri, selain iklan-iklan produk dan juga jadwal keberangkatan kapal-kapal. Secara umum surat kabar-surat kabar yang diterbitkan tersebut dapat dibagi atas 3 tipologi, yaitu pers Belanda, pers Tionghoa dan pers Pribumi.[2]
            Pada awal abad ke-20 muncullah kaum intelegensia yang mengalami pendidikan Barat namun jiwa dan semangat yang muncul dari mereka adalah anti penjajah/Belanda. Mereka mulai mendirikan berbagai organisasi baik yang bersifat lokal, sosial, budaya, politik maupun keagamaan. Dalam memperjuangankan gagasan dan ide-idenya mereka juga menggunakan media surat kabar sebagai sarana menyampaikan pesan kepada anggotanya dan juga khalayak luas.[3]    
            Terkait dengan hubungan antara media cetak atau pers dengan semangat kebangsaan Ahmat Adam berpendapat bahwa perkemabngan media cetak atau pers yang marak sejak abad ke-19 terutama di Pulau Jawa turut menumbuhkan semangat kebvangsaan atau modern Indonesia conciousness, yang pada dasarnya adalah keinginan bangsa Indonesia untuk berpikir dan bertindak untuk meningkatkan diri dalam bidang-bidang sosial, ekonomi, politik dalam kehidupan masyarakat kolonial.[4] Kaum intelegensia mengusung gagasan tentang ‘kemadjoean’ atau progress, mereka mempunyai pandangan dan cita-cita terhadap realitas dan perubahan sosial yang diharapkan melalui perjuangan organisasi dan juga melalui pers. Bagi mereka pers dapat menjadi media yang bisa memberitakan kejadian-kejadian penting yang dapat menginspirasi pembacanya untuk maju dan pintar.
            Kesadaran seperti inilah yang muncul lambat laun setelah banyak penduduk yang mengakui dan membaca isi berita Koran-koran. Fungsi pers selain sebagai penyebar informasi, juga menjadi medium yang baik untuk meletakkan pengaruh pada publik atau pembaca, selain itu pers juga mempunyai potensi membangkitkan kesadaran kolektif.[5]

            R. M. Tirtoadhisoerjo merupakan perintis perjuangan pers pergerakan kebangsaan ketika menerbitkan surat Kabar Medan Prijaji tahun 1907 di Bandung. Medan Prijaji banyak mengkritik kebijakan penguasa lokal maupun kolonial yang yang dinilai korup dan mengeksploitasi rakyat, sangat peduli akan nasib kesejahteraan dan pendidikan rakyat pribumi. Tentunya Medan Prijaji hanyalah salah satu contoh pers diantara puluhan pers pergerakan, baik itu Budi Utomo, Serekat Islam, Muhammadiyah, Indische Partij, Perhimpunan Indonesia dan lain-lain.  



[1] Untuk melihat data tentang nama surat kabar selama abad ke-19 dan awal abad ke-20 dibaca dalam Subab, C. ‘Perkembangan Pers Indonesia’ dalam Buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid V, Depdikbud, 1984, Bab IV tentang Komunikasi Sosial dan Edukasi.
[2] Ahmat Adam, Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan, Jakarta, Hasta Mitra, Pustaka Utan Kayu, KITLV-Jakarta, 2003.
[3] Andi Suwirta, Suar dari Dua Kota: Revolusi Indonesia dalam Pandangan Surat Kabar Merdeka (Jakarta) dan Kedaulatan Rakyat (Yogyakarta) 1945-1947, Jakarta, Balai Pustaka, 2000, hlm. 19
[4] Ahmat Adam, Op.Cit., hlm. XIII-XV
[5] Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional Dari Kolonialisme sampai Nasionalisme Jilid 2, Jakarta, Gramedia, 1990, hlm. 113


Rabu, 08 Agustus 2012

ELIT MODERN di INDONESIA pada ABAD ke - 19


1.      Pengantar
Istilah elit modern mungkin sangat jarang didengar saat ini di Indonesia dalam perspektif sejarah. Saya mencoba kembali mengulas cerita tentang elit modern di Indonesia pada masa kolonial dalam penelitian sederhana ini. Sembari kembali menyegarkan ingatan kita tentang suatu tonggak perubahan sangat signifikan kehidupan Indonesia yang kelak berdampak sangat besar pada perjalanan bangsa Indonesia kedepannya.
Elit modern itu sendiri dianggap begitu penting dan menarik, karena merupakan bagian penting dari suatu rentetan peristiwa seputar sejarah pendidikan di Indonesia. Jadi, pada masa sebelum kolonialisasi Belanda hingga pada masa politik etis di Indonesia, terdapat satu kesatuan budaya asli yang masih tradisional yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Kebudayaan asli ini masih dijaga eksistensinya oleh masyarakat Indonesia, seperti pengabdian kepada raja, pemilik tanah hingga pada kelayakan perolehan pendidikan hanya pada golongan bangsawan. Maka muncullah golongan elit tradisional seperti raja, tuan tanah dan bangsawan yang memiliki harkat, martabat dan derajat sangat tinggi di Indonesia dikarenakan kedudukan atau jabatan yang dipegangnya.
Terjadi lonjakan perubahan sangat signifikan pada persepesi dan budaya masyarakat terhadap golongan elit setelah terjadi politik etis di Indonesia. Setelah orang – orang pribumi yang mampu bersekolah dan memiliki prestasi di lapangan, timbul persepsi baru dari masyarakat Indonesia pada saat itu menanggap mereka yang terpelajar sebagai golongan elit modern. Golongan elit yang mampu eksis dan terpandang tanpa ada hubungan kekerabatan dengan kerajaan atau dengan bangsawan.
Pertanyaan penelitian :
1.      Apa latar belakang munculnya elit modern ?
2.      Bagaimana proses kemunculan elit modern di Indonesia ?

2.      Pembahasan 
2.1.Politik Etis
Selintas kemunculan elit modern tidak bisa dipisahkan dari peristiwa politik etis yang terjadi di Indonesia. Politik etis merupakan gerbang perubahan budaya tradisional dalam hal pandangan hidup kepada modernisasi ala Barat melalui pendidikan. Seperti disebutkan Ricklef (1991:227) bahwa “kaum sosial demokrat telah berusaha mengeluarkan kritikan tajam terhadap pemerintah Belanda dalam hal eksploitasi kekayaan alam dan manusia di Indonesia. Telah terjadi keadaan ekonomi dan kemanusiaan yang sangat memprihatinkan di Indonesia selama masa kolonial”.
Setelah menuai banyak kritikan dari golongan sosial demokrat dalam hal kebijakan pemerintah kolonial di Indonesia, maka pemerintah kolonial melonggarkan kebijakan – kebijakan yang bersifat eksploitasi dalam bentuk politik etis. Salah satu kebijakan dalam politik etis adalah penyelenggaraan pendidikan pada rakyat Indonesia. Setelah kebijakan politik etis ini diterapkan banyak rakyat Indonesia bisa mengenyam pendidikan di sekolah umum. Meski awalnya hanya keluarga bangsawan dan orang kaya yang mampu bersekolah, namun lama – lama kelamaan rakyat biasa bisa bersekolah di sekolah umum.
Niel (1984:55) menyebutkan “Hurgronje banyak menyumbangkan saran kepada pemerintah kolonial untuk memberikan pendidikan yang bercirikan Barat kepada golongan elit pribumi”. Namun menurut Suryanegara hal ini dianggap sebagai sebuah pendangkalan akidah Islam. Suryanegara (2009:327) menyebutkan “politik etis merupakan praktik imperialisme gaya baru yang diciptakan oleh Belanda. Khusus pada pendidikan, pemerintah kolonial Belanda sengaja merubah sistem pendidikan agama Islam ala pesantren menjadi sistem pendidikan ala Barat yang lebih modern”.
Pendapat Suryanegara diperkuat oleh Nagazumi (?:28) bahwa
“tujuan politik etis; 1. Meningkatkan kesejahteraan penduduk pribumi dan 2. Berangsur – angsur menumbuhkan otonomi dan desentralisasi politik di Hindia Belanda. Hal ini didasari pada tiga prinsip : kekuasaan pemerintah harus dialihkan 1. Dari Negeri Belanda ke Hindia 2. Dari Batavia ke daerah – daerah 3. Dari bangsa Eropa ke penduduk pribumi”.
           
       Ini artinya terjadi perubahan cara kolonialisasi dari cara kuno dengan tanam paksa menjadi neo kolonialisasi yang lebih moderat. Cukup melalui pribumi – pribumi yang tunduk dan bekerja sama pada Belanda, mereka (Belanda) mampu menjajah Indonesia. Maka untuk memuluskan tujuannya Belanda mendidik dan melatih pribumi – pribumi pilihan (yang bekerja sama dengan Belanda) untuk dididik agar mampu membantu pemerintah kolonial di bawah kendali Belanda. Disamping itu Belanda ingin menjadikan Hindia sebagai salah satu negara federasinya.

2.2.Perubahan Elit Tradisional ke Elit Modern
Ada baiknya kita menelisik salah satu faktor yang mempelopori bangsa Eropa untuk sedikit memanusiakan manusia jajahannya. Tilaar (2007:83) menyebutkan “teori yang dicetuskan Rousseau pada masa Aufklarung tentang pendidikan yang wajib memberikan kebebasan kepada manusia dalam memilih sesuai dengan keinginannya”. Sedikit banyak pendapat Rouseau tersebut memiliki pengaruh secara tidak langsung kepada golongan pribumi untuk memperoleh pendidikan dan memperoleh kebebasan.
Brinton (1981:153) menyebutkan “kebudayaan modern Barat terbentuk sekitar abad ke – 15 sampai dengan ke – 18. Mereka mulai mengutamakan pendidikan dan rasionalitas pikiran daripada hanya sekedar dogma gereja”. Jelas perkembangan modernisasi di Eropa berdampak secara tidak langsung kepada kehidupan di daerah jajahan seperti Indonesia. Hal ini sesuai dengan pernyataan Niel (1984:56) “politik etis...memberikan rangsangan menimbulkan kesadaran pada angkatan muda Indonesia. Suasana yang sama juga memberikan rangsangan R.A. Kartini...menghasilkan wanita-wanita muda dan pemuda-pemuda elit Indonesia yang berpendidikan dalam kehidupan masyarakat yang berubah”.  Beberapa elit pribumi (tradisional) yang telah mendapat pendidikan dan pengaruh Barat telah secara tidak sengaja memiliki pemikiran Barat. Salah satu contoh sederhana yaitu konsep identitas bangsa dan nasionalisme yang sudah mulai dikaji dan dipelajari. Sementara pada masa tradisional sebelum memperoleh pengaruh Barat, tidak pernah terpikirkan konsep identitas dan nasionalisme oleh para elit tradisional. Seperti dikatakan Kusuma (2001:152) “...mahasiswa asal Hindia Belanda pada 1908 mendirikan perkumpulan sosial di negeri Belanda...namun mereka yang terkumpul dari beberapa suku berbeda masih belum tau kebangsaan mereka”.
Jika kita menetapkan standar baku dan batasan elit tradisional adalah orang – orang besar (priyayi) yang belum terpengaruh pemikiran Barat, seperti Kejawen dan Islam santri. Pada umumnya mereka (elit tradisional) berasal dari keluarga raja, bangsawan atau priyayi yang memperoleh status kebangsawanannya dari garis keturunan. Disamping itu ciri khusus elit tradisional seperti diungkapkan Niel (1984:58) “dualisme...orang Indonesia...pendidikan (rasionalitas) dan takhyul”. Lebih lanjut Graves (2007:11) menyebutkan...tingkat pengaruh yang dimiliki pihak elit tradisional dalam persaingan memperoleh kekayaan dan prestise didasarkan keturunan itu sendiri. Maka Suryanegara (2009:277) memiliki pendapat sendiri bahwa “perubahan pola pikir masyarakat Islam akan kesadaran teritorial dan identitas telah tergambarkan jauh sebelum pemikiran Barat hadir di Indonesia”. Artinya tidak bisa kita mengatakan bahwa Islam atau sebelum pemikiran Barat datang di Indonesia bahwa elit tradisional sangat rendah wawasannya.
Kembali pada mengapa dengan mudahnya kaum tradisional menerima segala perubahan yang datang dari Barat. Hal ini sangat unik dan membutuhkan penguraian teori kebudayaan yang membahas tentang perubahan kebudayaan. Seperti yang disebutkan Havilland (1988:252) menyebutkan bahwa “kemampuan berubah selalu merupakan sifat yang penting dalam kebudayaan manusia. Tanpa hal tersebut, kebudayaan tidak akan mampu menyesuaikan dengan keadaan yang selalu dinamis”. Lebih lanjut lagi disebutkan perubahan – perubahan yang terjadi pada kalangan elit tradisional menuju pada elit modern yang lebih bersifat Barat disebabkan oleh invention yang terjadi di Eropa dan dibawa melalui akulturasi antara pemerintah kolonial Belanda dengan penduduk pribumi dalam hal ini elit tradisional.
Tidak selamanya akulturasi berjalan mulus antara pemerintah kolonial dengan rakyat pribumi. Hal ini didasari atas perbedaan yang sangat mendasar, yaitu agama yang Islam yang dianut orang Pribumi Indonesia, sedangkan Belanda memiliki keyakinan Protestan. Pada mulanya golongan elit tradisional khususnya Islam santri memiliki keraguan atas pendidikan yang ditawarkan pemerintah kolonial. Jelas penyebabnya adalah pendidikan dengan sistem modern ala Barat yang mengesampingkan agama Islam dalam kurikulumnya. Namun disinilah letak kebrilianan Hurgronje sebagai antropolog profesional (bidang Islam) dari pihak pada Belanda yang berhasil meyakinkan para raja dan bangsawan Islam agar menyekolahkan anaknya di sekolah umum.
Seperti kita ketahui sebelumnya bahwa hanya sedikit dari golongan pribumi yang ingin bersekolah di sekolah – sekolah Belanda.  Hal ini didukung oleh pendapat Nagazumi (?:22) bahwa ”pada tahun 1902 hanya ada empat dari delapan bupati yang mampu menggunakan bahasa Belanda. Salah satu dari mereka adalah R.M. Koesoemo Oetoyo sebagai pemimpin gerakan Budi Utomo, sebagai komisaris pada 1909 dan sebagai ketua pada 1926”. Ini artinya belum banyak pribumi Jawa yang mau mengenyam pendidikan dari Belanda pada saat itu.
Hal yang menarik, diantara pribumi yang memperoleh pendidikan Barat seperti Koesoemo Oetoyo menularkan ide – ide yang luar biasa pada pribumi lain yang tidak tertarik pada pendidikan Belanda. Ide – ide tersebut antara lain memperkenalkan hierarki kolonial Belanda pada kaum elit pribumi dan bagaimana hierarki tersebut bekerja, juga proses dimana mereka (elit pribumi) semakin dalam terlibat (Nagazumi, ?:23). Ide – ide semacam itu semakin merangsang elit pribumi lain untuk bersekolah dan melakukan perubahan – perubahan sosial yang pada akhirnya nanti membentuk Budi Utomo dan Volksraad.  
Untuk tahap awal para elit modern ini biasanya muncul dan berkembang setelah mendapat pendidikan di Eropa. Seperti contoh, Achmad Djajadiningrat seorang anak bangsawan Banten dan keturunan Paku Alam yang banyak melanjutkan studi di Eropa. Namun berikutnya setelah didirikannya sekolah dokter STOVIA pada 1902 di Jawa, maka banyak muncul elit – elit modern yang memiliki pemikiran – pemikiran Barat yang, brilian seperti Radjiman Wideodiningrat, Boedi Oetomo, Tjipto Mangunkusumo, Wahidin Wirohoesodo dan lainnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hatmosoeprobo dalam Suwarno (1995:60) “anak-anak priyayi lulusan sekolah yang bahasa pengantarnya bahasa Belanda...kemudian hari tumbuh menjadi golongan intelektual yang biasa disebut modern Indonesia”. Kelak mereka akan membuka wawasan dan kesadaran masyarakat Indonesia akan nasionalisme, identitas dan hak layak untuk hidup sebagai manusia bebas. Tidak hanya itu pada tahun 1916 juga muncul organisasi massa bercorakkan agama yang disebut SI (Serekat Islam). Cukup banyak kontribusi para pemikir Serikat Islam bagi masyarakat seperti SI menghendaki natie dan berpemerintahan sendiri bagi rakyat Nusantara (Kusuma, 2001:152). Lebih lanjut Kartodirdjo dalam Suwarno menyebutkan (1995:8) “BO, SI, Muhammadyah, IP dan sebagainya berfungsi sebagai lambang identitas baru berdasarkan solidaritas modern (non-primordialis). Ide nasionalisme mentrasenden etnosentrisme, etno nasionalisme, serta segala jenis primordialisme dan komunalisme diganti solidaritas nasional.”
Sedang Nugraha (2011:76) menambahkan “pengaruh pemikiran Barat telah membuat orang pribumi mencari identitas sosial. Hal ini dapat terlihat dari banyaknya golongan priyayi Jawa yang kehilangan keyakinan terhadap mobilitas status yang diperoleh berdasarkan keturunan”. Mereka memasuki dunia intelektual yang agak terbebas dari tradisi kultural yang penuh dengan sikap hormat berlebihan. Dari mereka inilah lahir golongan yang berusaha mencari alternatif lain dari corak sosial dan sistem status masyarakat. Setelah memperoleh pendidikan Barat elit modern ini memiliki pemikiran faktor mobilitas sosial tidak lagi dipandang berdasarkan garis keturunan. Mereka beranggapan status sosial yang meningkat karena prestasi dibidang pendidikan, ekonomi dan lainnya lebih berhasil dan terpandang. Ini disebabkan status sosial yang diperoleh murni hasil kerja keras diri sendiri lebih baik ketimbang hanya memperoleh peningkatan status sosial dari garis  keturunan bangsawan yang merupakan “pemberian” keluarga. Hal ini sesuai dengan pendapat Graves (2007:252) “di Sumatera Barat pada tahun 1920-an, pendidikan sekuler berbahasa Belanda menjadi syarat penting untuk status elite...”.
Maka pada perkembangan berikutnya golongan elit modern terpelajar ini mulai merambah dan berkecimpung di berbagai bidang, seperti politik, sosial, budaya dan pendidikan. Tujuan mereka sama, yaitu memperoleh hak – hak layak hidup sebagai manusia yang bebas. Tidak terkecuali kesempatan mengenyam pendidikan bagi rakyat jelata, sampai kepada tuntutan kebebasan yang pada akhirnya berujung pada konsep kemerdekaan yang hakiki.
            Dalam hal ini kegiatan awal golongan elit modern dapat ditandai dengan mulai dibentuknya organisasi yang bersifat sosial – budaya seperti Boedi Oetomo pada tahun 1908 oleh Wahidin Wirohusodo. Mereka memfokuskan perhatian pada kesadaran identitas bangsa, nasionalisme dan persatuan beragam suku yang ada di Indonesia. Wahidin merekrut para mahasiswa alumni STOVIA untuk bergabung kepada Boedi Oetomo dalam rangka menyatukan visi dan misi yakni kebebasan dan hak layak hidup. Beberapa dari mereka yang bergabung pada Boedi Oetomo antara lain Tjipto Mangukumo dan Suwardi Suryaningat serta Soetomo. Dan dari mereka akan berkembang pula organisasi Indische Partij yang bergerak pada bidang politik yang fokus memperjuangkan nasionaslisme sebagai kesadaran nasional seluruh rakyat Indonesia dan lainnya.



1.      Penutup     
Elit modern merupakan golongan pribumi Indonesia yang pada dasarnya adalah orang – orang yang menerima perubahan kebudayaan serta pemikiran dari Barat. Perubahan budaya tradisional ke arah budaya modern ini merupakan pengaruh atau konsekwensi dari invention dan akulturasi yang dilakukan orang Eropa dengan orang Pribumi. Salah satu tonggak perubahan budaya pribumi Indonesia adalah dikeluarkannya kebijakan politik etis khususnya bidang pendidikan. Sistem pendidikan Barat yang diperkenalkan pada rakyat pribumi telah membuka wawasan dan peluang pikiran elit tradisional terpengaruh pemikiran Barat.
Pemikiran Barat disini adalah berupa ide – ide kebebasan, memperoleh hak hidup, nasionalisme dan persatuan daerah Indonesia. Hal ini sesusai dengan pendapat Rousseau yang menjunjung tinggi kebebasan dalam menentukan sesuatu. Selain itu semangat rasionalitas orang Eropa dalam belajar dan berpikir telah mempengaruhi pemikiran para elit modern Indonesia untuk mewujudkan masyarakat sejahtera yang merdeka.



Daftar Pustaka

Brinton, C. 1981. Pembentukan pemikiran modern. Jakarta : Mutiara
Graves, E. E. 2007. Asal-Usul Elite Minangkabau Modern Respons terhadap Kolonial Belanda Abad XIX/XX. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia
Havilland, W. A. 1988. Antropologi. Jakarta : Erlangga
Suwarno, P.J. (Ed.). 1995. Negara dan Nasionalisme Indonesia. Jakarta : Grasindo
Kusuma, A. B. 2001. “Persatuan, SARA, Globalisasi”. Tempo, hlm. 152
Nagazumi, A. ?. Bangkitnya Nasionalisme Indonesia Budi Utomo 1908 – 1918. ?
Niel, V. R. 1984. Kemunculan elit Modern Indonesia. Jakarta :Pustaka Jaya
Nugraha, P. Iskandar. Teosofi, Nasionalisme dan Elit Modern Indonesia. Jakarta : Komunitas Bambu.
Ricklef, H. C. 1991. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta : Gadjah Modern
Suryanegara, A. M. 2009. Api Sejarah. Bandung : Salamadani
Tilaar, H.A.R. 2007. Mengindonesia Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta

Oleh : H. Harahap   

Senin, 11 Juni 2012



SRUKTUR POLITIK NEGARA-NEGARA MERDEKA di ASIA TENGGARA
Oleh : Deka M.S.



A.     PENGANTAR
Pasca menyerahnya Jepang pada pasukan sekutu, hampir semua daerah pendudukan Jepang di Asia Tenggara mengalami kekosongan kekuasaan (vacum of power). Penindasan yang dialami daerah Asia Tenggara (kecuali Thailand) melahirkan kesadaran nasional di kalangan bangsa-bangsa di Asia Tenggara yang mencapai puncaknya pada pembentukan negara nasional.
Meskipun  pola  umum  perjuangan dalam membentuk  negara  merdeka di Asia Tenggara didasari oleh nasib (penjajahan dan penindasan) yang sama,  namun  karena  adanya  faktor-faktor  intern  dan  ekstern  yang  berbeda-beda,  maka  menyebabkan corak dan  dinamikanya pun berbeda. Oleh karena itu tidak mudah pula melihat perkembangan dan pembentukan  negara  nasional di Asia Tenggara.
B.     PEMBAHASAN
a)    Struktur politik negara-negara merdeka di Asia Tenggara secara umum
Berdasarkan administratif pemerintahan, di Asia Tenggara pasca perang dunia II terbentuk sepuluh negara merdeka: enam berada di daratan benua Asia (Mainland Southeast Asia) Kamboja, Laos, Vietnam (disebut kawasan Indocina), Thailand, Malaysia dan Myanmar, dan empat negara berada di pulau dan kepulauan sekitarnya ( Insular Southeast AsiaSingapura, Brunei, Indonesia, dan Filipina.

b)   Bentuk negara dan sistim pemerintahan
Pada dasarnya semua negara di asia tenggara berbentuk republik kecuali Thailand, Malaysia dan Brunai. Adapun yang paling terkhir mengalami perobahan struktur pemerintahan dari sistim kerajaan ke sistim republik adalah Laos dan Kamboja.[1]
Barangkali hanya Asia Tenggaralah yang memiliki hampir semua corak pemerintahan, dari sistem monarki absolut (Brunei)[2], monarki konstitusional (Thailand, Malaysia)[3], demokrasi liberal (Filipina), demokrasi sosialisme, (Vietnam, Kamboja dan Laos), diktator militer (Myanmar), quasi-demokrasi (Singapura), demokrasi Pancasila (Indonesia).

c)    Pembentukan Negara Nasional di Asia Tenggara
Terbentuknya negara nasional dengan struktur politik yang beragam di Asia Tenggara pasca kolonial tidak terlepas dari pengaruh internal dan eksternal, diantaranya:
1.      Ideologi.
Sebagian negara-negara Asia Tenggara mengikuti jalan komunis sebagian lagi mengikuti jalan liberal. Bentrokan yang keras antara penganut komunis dan liberal terjadi ketika Perang Dingin. Perbedaan ideologi ini menjadi sumber konflik di Asia Tenggara, baik konflik dalam negeri (nasional) atau pun konflik kawasan (regional). Perbedaan idiologi seringkali menimbulkan perang saudara di beberapa negara Asia Tenggara. Sebagai contoh perang Vietnam, yang berujung pada kemenangan komunis Vietnam dibawah pimpinan Ho Chi Minh menciptakan Republik Sosialis Vietnam. Begitupun dengan Laos, kemenangan komunis Phatet Lao melawan  kelompok nasionalis, meruntuhkan sistim monarki dan menggantinya dengan Republik Rakyat Laos yang berpaham komunis. Sementara Philipina yang mengalami pendudukan Amerika, mengikuti sistim liberal seperti Amerika Serikat.
2.      Sistem politik.
Negara-negara Asia Tenggara memiliki berbagai sistem politik yang unik. Thailand dan Malaysia masih memiliki sistem kerajaan yang sejajar atau beriringan dengan sistem politik modern. Singapura menerapkan sistem politik ala Barat tetapi masih memelihara tradisi. Filipina sama sekali menganut sistem politik yang liberal persis seperti Amerika Serikat. Sebaliknya Brunei masih dipimpin seorang Sultan, mengingatkan pada sistem kesultanan masa lalu. Sementara itu negara-negara Indocina bertahan dengan sistem sosialis yang sentralistis.
3.      Instabilitas internal dalam setiap unit sistem politik masing-masing negara.
Di setiap negara Asia Tenggara senantiasa terdapat akar-akar dan potensi konflik internal. Berbagai pemberontakan dan gerakan separatis mengancam keutuhan negara-negara asia tenggara. Pada saat terbentuknya negara-negara modern di Asia Tenggara, mereka tidak lagi bersatu berdasarkan kesamaan etnisitas dan identitas, melainkan sudah menentukan dirinya berdasarkan identitas kewarganegaraana negara modern yang terbentuk itu. Dengan kata lain, warisan kebijakan kolonial di masa lalu meninggakan bom waktu dalam pembentukan negara merdeka.

d)   Ciri-ciri struktur politik negara-negara asia tenggara
1.      konfigurasi (distribusi dan tingkat) kekuasaan dalam struktur politik.
Munculnya kekuatan politik yang dominan (mayoritas) yang menekan minoritas menyebabkan negara-negara Asia Tenggara sering dilanda konflik internal. Di sini dapat disebut bahwa adanya hegemoni dari kekuatan mayoritas, baik etnik maupun golongan dalam mendominasi percaturan politik negara ditentang kekuatan minoritas.
2.      Permasalahan Integrasi Nasional.
Pada awal pembentukan negara-negara merdeka di asia tenggara, masalah integrasi menjadi persoalan yang rumit, baik masalah integrasi nasional yang berkaitan masalah etnik ataupun ideologi. Tingkat integrasi di masing-masing negara tergantung daripada karakter dan frekuensi interaksi diantar anggota kekuatan politik internal di masing-masing negara.
3.      Hubungan antara sistem subordinat dengan dominan.
Ciri umum struktur politik di negara-negara Asia Tenggara terlihat adanya penetrasi kekuatan politik dominan. Misalnya sistim politik Burma (Myanmar) pasca merdeka yang dikuasai orang Burma yang menyebabkan suku bangsa Karen, Shan, Kachin dan Chin mengangkat senjata melawan pemerintahan Myanmar. Selain di Myanmar, di Malaysia pun, etnik melayu menguasai politik negara tersebut, sehingga menimbulkan pertentangan dengan etnik Cina dan India.
4.      Keterlibatan militer dalam politik di negara-negara asia tenggara
Munculnya generasi perwira baru pasca kolonial membawa persepsi ideologis, peranan, serta tingkah laku yang berbeda. Apalagi jika diingat perwira-perwira ini direkrut dari lapisan menengah, yang makin kuat di semua negara tersebut. Karena itu, makin terbuka ide-ide reformasi, serta kecenderungan untuk memperkuat lembaga politik nonmiliter di negaranya masing-masing.
Peranan politik tentara Burma, yang sejak zaman pendudukan Jepang sudah merupakan pelopor perjuangan kemerdekaan di bawah kepemimpinan "30 Thakin", yang dilatih Jepang di Pulau Hainan. Kekacauan-kekacauan yang terjadi setelah kemerdekaan, khususnya pada akhir 1948, ketika 60 pcrsen tentara berada di pihak pemberontak (komunis dan separatis Karen), berlanjut selama 1950-an dalam berbagai krisis, tentara Burma kemudian mengambil alih kekuasaan dari tangan PM U Nu pada 1962. Selama periode kritis itu, tentara sebagai suatu lembaga politik juga dipersonifikasikan dalam diri Ne Win, yang sejak 1945 menjadi Pangab Burma, dan satu-satunya yang tetap di militer dari "30 Thakin" tadi. Ne Win berhasil melembagakan peranan militer dengan dibentuknya partai tunggal BSPP (Partai Program Sosialis Burma) pada 1964. Pelembagaan politik ini dimungkinkan karena pimpinan tentara Burma dari generasi Ne Win adalah bekas aktivis mahasiswa radikal, yang dalam persepsi politiknya melihat bahwa dominasi militer hanyalah suatu proses transisi sampai terbentuknya partai tunggal yang didukung negara.
Di Muangthai, kudeta-kudeta militer seringkali terjadi. Hampir setiap pemilu yang diadakan di negeri ini terjadi percekcokan antara sipil dan militer yang seringkali berujung kudeta. Namun satu yang perlu dicatat, setiap kali terjadi kudeta, kedudukan raja tidak pernah diusik-usik.
Begitupun di Indonesia dengan konsep Dwifungsi ABRI di masa Suharto, yang mencakup fungsi sospol di samping fungsi hankam. khususnya dalam pelembagaan politik ABRI.
Namun berbeda dengan Singapura dan Malaysia justru didominasi oleh pemerintahan sipil tanpa keterlibatan militer dalam politik praktis. Pemuda-pemuda Singapura harus dipaksa masuk militer. Akibatnya, banyak yang keluar setelah masa dinasnya selesai atau terjadi kecenderungan ke arah terbentuknya "perwira-sarjana". Pembangunan ekonomi memang menyebabkan lulusan-lulusan terbaik masuk ke birokrasi sipil ataupun ke perusahaan-perusahaan. Terpaksa, gaji perwira-perwira dibuat setinggi-tingginya, demikian juga fasilitas lainnya, untuk mengimbangi itu. Tak heran bila Singapura, yang diperintah sipil, tercatat sebagai negara yang mempunyai anggaran belanja hankam paling tinggi di Asia Tenggara.
Dibandingkan Singapura, tentara Malaysia berbeda dalam satu hal penting, yakni adanya masalah etnis. Seluruh tentara Malaysia terbagi atas 64,5 persen orang Melayu dan 35,5 persen orang non-Melayu (data 1969). Persentase ini makin besar untuk orang Melayu pada tingkat perwira, dan boleh dikatakan jabatan penting semuanya di tangan orang Melayu. Dengan demikian, hak-hak istimewa orang Melayu pada Konstitusi dicerminkan terutama Angkatan Bersenjata Diraja, yang jabatan-jabatan puncaknya juga dipegang oleh perwira yang memiliki ikatan sosial dengan keluarga kerajaan dan pimpinan UMNO. Dari sudut ini Angkatan Bersenjata "menjamin" bagi dominasi Melayu, yang dicerminkan oleh kekuatan pamungkas, RMR (Royal Malay Regiment -- Resimen Melayu Kerajaan).
Vietnam-Laos-Kamboja, dimana dominasi militer di akomodasi Partai Komunis dengan adannya Komite Militer Pusat Partai, yang memiliki komissar sampai ke tingkat paling bawah dari hirarki militer.
Filipina, gejala seperti yang terjadi di Muangthai, yakni perbedaan dalam korps perwira. Protes perwira-perwira "reformis Yang tidak puas dengan kebijakan negara, terutama jika terjadi kekacauan dalam sistem politik Filipina.
C.     PENUTUP
Penindasan yang cukup lama, mendorong kesadaran nasional (nasionalisme) di kalangan bangsa-bangsa di Asia Tenggara. untuk membentuk negara nasional yang berdaulat, walaupun perkembangan pembentukan masing-masing negara di Asia Tenggara itu berbeda dalam corak dan dinamikanya. Berbagai polemik-polemik harus dihadapi negara-negara Asia Tenggara dalam membentuk suatu identitas negara-bangsa (nation state) yang berdaulat. Pembentukan negara-negara nasional di Asia Tenggara paska-kemerdekaan dengan struktur politik yang beragam menciptakan banyak permasalahan yang adakalanya menimbulkan kekacauan politik yang berimbas timbulnya perang saudara. Semua peristiwa ini telah mentransformasikan kawasan ini menjadi bagian yang sangat strategis sekaligus sensitif dalam percaturan politik internasional. 

DAFTAR PUSTAKA

AM. Sardiman. 1973. Kemenangan  Komunis  Vietnam  dan  Pengaruhnya  Terhadap Perkembangan Politik di Asia Tenggara. Yogyakarta: Liberty 

Budiono  Kusumohamidjojo. 1985. Asia Tenggara  Dalam  Perspektif  Netralitas  dan  Netralisme. Jakarta: PT. Gramedia 
Djalinus Syah. 1988. Mengenal ASEAN dan Negara-negara Anggotanya. Jakarta: Kreasi Jaya Utama 

Hall, DGE. 1988. Sejarah Asia Tenggara. Surabaya: Penerbit Nasional


Roeslan  Abdulgani. 1978.  Asia  Tenggara  di  Tengah  Raksasa  Dunia. Jakarta:  Lembaga  Pembangunan, 

Wiyono. 1982. Sejarah  Asia  Tenggara  Modern. Yogyakarta: IKIP  Sanata  Dharma






[1] Sejak masa negara tradisional, Kamboja dan Laos berbentuk monarki (kerajaan). Namun pada tanggal 9 Oktober 1970 pasca kudeta jendral Lon Nol terhadap kekuasaan Sihanouk, bentuk kerajaan Kamboja  dirubah menjadi Republik Khmer. Begitupun dengan Laos, pada tanggal 1 Desember 1975, raja Savang Vattana turun tahta dan kekuasaan diambil alih oleh Souvanna Vong yang merubah bentuk negara  menjadi Republik Rakyat Laos.
[2] Sultan kerajaan Brunai berperan tidak hanya sebagai kepala negara, namun juga menjabat sebagai kepala pemerintahan, pemimpin politik dan pemimpin agama bagi bangsanya.
[3] Dalam sistm monarki konstitusional, raja hanya sebagai simbol belaka karena pembatasan konstitusi. Pemerintahan dijalankan oleh perdana menteri.

Jumat, 09 Maret 2012

Gotong Royong Falsafah Bangsa yang Terlupakan


Kata  gotong  royong  semakin  jarang  dan  asing  kita  dengarkan  di  telinga  kita  saat  ini.  Jika  disebutkan  kata  gotong  royong,  maka  secara  refleks  kita  akan  membayangkan  dan  memikirkan  kerja  bakti  bersama  warga  di  suatu  kelurahan  membersihkan  selokan  dan  jalan  raya.  Atau  kegiatan  kerjasama  warga  di  suatu  desa  terpencil  dalam  membuat,  memelihara  dan  merawat  sarana  publik,  seperti  irigasi,  rumah  ibadah,  balai  desa  dan  lainnya.
            Jika  sesederhana  itu  kita  memaknai  dan  memahami  gotong  royong,  maka  sesungguhnya  telah  lama  masyarakat  Indonesia  diperkotaan  khususnya  melupakan  gotong  royong  itu  sendiri.  Kehidupan  masyarakat  perkotaan  yang  semakin  menonjolkan  individualismenya  telah  menghantarkan  masyarakat  ke  gerbang  kehidupan  modern  yang  berkiblat  ke  Barat.  Ini  sesuai  dengan  teori  Durkheim  yang  menyebutkan  senantiasa  masyarakat  modern  yang  kompleks  akan  meninggalkan  solidaritas  mekanisnya  menuju  solidaritas  organisnya.  Dimana  manusia  akan  lupa  arti  kebersamaan,  individualistis  dan  hanya  memiliki  sedikit  spesialisasi  kerja. 
      Manusia  modern  seakan  tidak  memiliki  kesempatan  meluangkan  waktunya  untuk  bersosialisasi  dengan  manusia  lain  yang  ada  disekitarnya.  Kebutuhan  hidup  menuntutnya  untuk  tetap  terus  bekerja  mencari  uang.  Bahkan  untuk  hal  -  hal  yang   sesungguhanya  mudah  diselesaikan  apabila  dikerjakan  dengan  gotong  royong  seperti  resepsi  pernikahan,  manusia  modern  sebaliknya  membayar  panitia  resepsi  untuk  mengerjakan  dan  menyediakan  kebutuhan  resepsi  tersebut.  Dengan  alasan  mereka  tidak  mampu  mengerjakan  semua  pekerjaan  itu,  sedang  pekerjaan  mereka  tidak  bisa  ditinggalkan.  Berbeda  halnya  jika  resepsi  tersebut  dilaksanakan  di  sebuah  desa  terpencil,  warga  desa  bahu  -  membahu  membantu  menyelenggarakan  resepsi  pernikahan  tersebut  tanpa  pamrih.
          Akibat  dari  modernisasi  dan  westernisasi  kita  melupakan  falsafah  bangsa  yang  sangat  luhur  yaitu  gotong  royong.  Falsafah  gotong  royong  tersebut  sesungguhnya  telah  menjadi  jati  diri  bangsa  yang  telah  ada  sejak  zaman  Hindu  -  Budha.  Keunikan  bangsa  ini  sejatinya  telah  dikenal  dunia  internasional  sebagai  ciri  khas  yang  telah  membudaya  pada  diri  bangsa  Indonesia.  Seperti  disebutkan  Presiden  Obama saat  mengenang  kisahnya  tinggal  di  Indonesia,  gotong  royong  merupakan  budaya  Indonesia  dan  tidak  terdapat  di  tempat  lain  termasuk  di  Amerika  Serikat.  Beliau  sangat  mengagumi  nilai  kebersamaan  dan  kekeluargaan  dari  gotong  royong  dan  memimpikan  agar  suatu  saat  Amerika  memiliki  budaya  gotong  royong  juga.  Mengingat  individualisme  di  Amerika  sangat  tinggi,  sedangkan  rasa  solidaritas  mereka  sangat  rendah. 
            Sungguh  ironis  kita  bangsa  Indonesia  selaku  pemilik  falsafah  gotong  royong  terkesan  tidak  peduli  dan  tidak  melestarikan  falsafah  gotong  royong   tersebut.  Bukan  tidak  mungkin  jika  rasa  kepedulian  kita  terhadap  falsafah  bangsa  tersebut  rendah,  maka  falsafah  tersebut  akan  punah.  Banyak  sudah  contoh  sejarah  tercatat  mengenai  budaya  bangsa  yang  punah  akibat  rasa  kepedulian  bangsa  yang  rendah.  Sebagai  contoh  aksara  Arab  -  Melayu  merupakan  budaya  Indonesia  yang  unik  dan  akhirnya  punah  terganti  dengan  aksara  Romawi  sekarang.  Sungguh  berbeda  halnya  dengan  Thailand  yang  masih  menjaga  warisan  budaya  leluhur  mereka  berupa  aksara  Palawa  Thai  yang  justru  saat  ini  digunakan  sebagai  aksara  nasional  Thailand.         
Prof. Soepomo  dan  Presiden  Soekarno  Mengingatkan  Kembali
            Mengingat  kembali  perjalanan  kemerdekaan  bangsa  Indonesia  tahun  1945.  Jauh  sebelum  proklamasi  berkumandang  di  Pegangsaan  Timur,  Soekarno  dan  beberapa  pejuang  lainnya  telah  memikirkan  falsafah  dasar  negara  yang  akan  dibentuk  ini.  Begitu  pentingnya  falsafah  dasar  negara  tersebut  sehingga  dijadikan  agenda  utama  dalam  rapat  pertama  BPUPKI  yang  harus  dipecahkan  dan  diselsesaikan.
            Tidak  banyak  pejuang  yang  memiliki  wawasan  luas  mengenai  falsafah  gotong  royong  sebagai  warisan  budaya  Indonesia  sejak  zaman  Hindu  -  Budha.  Mereka  yang  mengetahui  adalah  Prof. Soepomo  dan  presiden  Soekarno.  Didahului  oleh  pendapat  Prof. Soepomo  dalam  rapat  BPUPKI  tanggal  31  Mei  1945  yang  menyebutkan  bahwa  negara  seharusnya  dipimpin  oleh  pemimpin  yang  senantiasa  menyatu  dengan  rakyat  dengan  semangat  kekeluargaan  dan  gotong  royong.  Menurutnya  negara  tidak  milik  satu  orang,  tetapi  milik  semua  rakyat.  Untuk  itu  seluruh  rakyat  harus  bersatu  dalam  membangun  suatu  negara  demi  kesejahteraan  rakyat.
           Kemudian  dilanjutkan  oleh  presiden  Soekarno  pada  rapat  BPUPKI  1  Juni  1945.  Adapun  pendapat  beliau  adalah  Indonesia  memiliki  5  falsafah  dasar  negara,  antara  lain;  Kebangsaan  Indonesia,  Internasionalisnisme,  Permusyawaratan  mufakat,  Kesejahteraan  sosial  dan  KeTuhanan.  Lalu  presiden  Soekarno  menyimpulkan  kelima  falsafah  tersebut  ke  dalam  satu  wadah  yaitu  gotong  royong.  Negara  dalam  pemikiran  presiden  Soekarno  adalah  negara  gotong  royong,  yaitu  negara  yang  berusaha,  beramal,  bekerja  dan  berkarya  bersama  -  sama.  Membanting  tulang,  memeras  keringat,  berjuang  bantu  -   membantu  bersama  -  sama  dan  hasilnya  semua  untuk  kepentingan  bersama.
            Jelaslah  bahwa  inti  dari  falsafah  gotong  royong  yang  kembali  diingtkan  Prof. Soepomo  dan  presiden  Soekarno  adalah  kerja  sama  sesama  rakyat  demi  mencapai  satu  tujuan.  Dengan  tercapainya  tujuan  tersebut  diharapkan  semua  rakyat  merasakan  hasilnya  bersama  -  bersama.  Bukankah  sesuatu  apabila  dikerjakan  secara  bersama  akan  terselesaikan  lebih  mudah  dari  pada  dikerjakan  dengan  sendiri?
Seharusnya  kita  menyadari  bangsa  ini  sudah  terlalu  jauh  tercerai  -  berai.  Akibatnya  kita  sulit  mencapai  tujuan  yang  diinginkan,  karena  hanya  sedikit  orang  yang  berjuang  mencapai  tujuan  tersebut.  Sedangkan  orang  lain,  sibuk  dengan  tujuannya  yang  lain.  Tidakkah  kita  bisa  mengambil  hikmah  pelajaran  dari  negara  sahabat  Vietnam  yang  tercerai  -  berai  berpuluh  -  puluh  tahun.  Namun  setelah  mereka  berhasil  bersatu  dan  bekerja  sama  dalam  menggapai  tujuan.  Kini  mereka  mampu  melampaui  pencapaian  Indonesia  khususnya  di  bidang  pendidikan.      
Oleh : H.  Harahap