Rabu, 08 Agustus 2012

ELIT MODERN di INDONESIA pada ABAD ke - 19


1.      Pengantar
Istilah elit modern mungkin sangat jarang didengar saat ini di Indonesia dalam perspektif sejarah. Saya mencoba kembali mengulas cerita tentang elit modern di Indonesia pada masa kolonial dalam penelitian sederhana ini. Sembari kembali menyegarkan ingatan kita tentang suatu tonggak perubahan sangat signifikan kehidupan Indonesia yang kelak berdampak sangat besar pada perjalanan bangsa Indonesia kedepannya.
Elit modern itu sendiri dianggap begitu penting dan menarik, karena merupakan bagian penting dari suatu rentetan peristiwa seputar sejarah pendidikan di Indonesia. Jadi, pada masa sebelum kolonialisasi Belanda hingga pada masa politik etis di Indonesia, terdapat satu kesatuan budaya asli yang masih tradisional yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Kebudayaan asli ini masih dijaga eksistensinya oleh masyarakat Indonesia, seperti pengabdian kepada raja, pemilik tanah hingga pada kelayakan perolehan pendidikan hanya pada golongan bangsawan. Maka muncullah golongan elit tradisional seperti raja, tuan tanah dan bangsawan yang memiliki harkat, martabat dan derajat sangat tinggi di Indonesia dikarenakan kedudukan atau jabatan yang dipegangnya.
Terjadi lonjakan perubahan sangat signifikan pada persepesi dan budaya masyarakat terhadap golongan elit setelah terjadi politik etis di Indonesia. Setelah orang – orang pribumi yang mampu bersekolah dan memiliki prestasi di lapangan, timbul persepsi baru dari masyarakat Indonesia pada saat itu menanggap mereka yang terpelajar sebagai golongan elit modern. Golongan elit yang mampu eksis dan terpandang tanpa ada hubungan kekerabatan dengan kerajaan atau dengan bangsawan.
Pertanyaan penelitian :
1.      Apa latar belakang munculnya elit modern ?
2.      Bagaimana proses kemunculan elit modern di Indonesia ?

2.      Pembahasan 
2.1.Politik Etis
Selintas kemunculan elit modern tidak bisa dipisahkan dari peristiwa politik etis yang terjadi di Indonesia. Politik etis merupakan gerbang perubahan budaya tradisional dalam hal pandangan hidup kepada modernisasi ala Barat melalui pendidikan. Seperti disebutkan Ricklef (1991:227) bahwa “kaum sosial demokrat telah berusaha mengeluarkan kritikan tajam terhadap pemerintah Belanda dalam hal eksploitasi kekayaan alam dan manusia di Indonesia. Telah terjadi keadaan ekonomi dan kemanusiaan yang sangat memprihatinkan di Indonesia selama masa kolonial”.
Setelah menuai banyak kritikan dari golongan sosial demokrat dalam hal kebijakan pemerintah kolonial di Indonesia, maka pemerintah kolonial melonggarkan kebijakan – kebijakan yang bersifat eksploitasi dalam bentuk politik etis. Salah satu kebijakan dalam politik etis adalah penyelenggaraan pendidikan pada rakyat Indonesia. Setelah kebijakan politik etis ini diterapkan banyak rakyat Indonesia bisa mengenyam pendidikan di sekolah umum. Meski awalnya hanya keluarga bangsawan dan orang kaya yang mampu bersekolah, namun lama – lama kelamaan rakyat biasa bisa bersekolah di sekolah umum.
Niel (1984:55) menyebutkan “Hurgronje banyak menyumbangkan saran kepada pemerintah kolonial untuk memberikan pendidikan yang bercirikan Barat kepada golongan elit pribumi”. Namun menurut Suryanegara hal ini dianggap sebagai sebuah pendangkalan akidah Islam. Suryanegara (2009:327) menyebutkan “politik etis merupakan praktik imperialisme gaya baru yang diciptakan oleh Belanda. Khusus pada pendidikan, pemerintah kolonial Belanda sengaja merubah sistem pendidikan agama Islam ala pesantren menjadi sistem pendidikan ala Barat yang lebih modern”.
Pendapat Suryanegara diperkuat oleh Nagazumi (?:28) bahwa
“tujuan politik etis; 1. Meningkatkan kesejahteraan penduduk pribumi dan 2. Berangsur – angsur menumbuhkan otonomi dan desentralisasi politik di Hindia Belanda. Hal ini didasari pada tiga prinsip : kekuasaan pemerintah harus dialihkan 1. Dari Negeri Belanda ke Hindia 2. Dari Batavia ke daerah – daerah 3. Dari bangsa Eropa ke penduduk pribumi”.
           
       Ini artinya terjadi perubahan cara kolonialisasi dari cara kuno dengan tanam paksa menjadi neo kolonialisasi yang lebih moderat. Cukup melalui pribumi – pribumi yang tunduk dan bekerja sama pada Belanda, mereka (Belanda) mampu menjajah Indonesia. Maka untuk memuluskan tujuannya Belanda mendidik dan melatih pribumi – pribumi pilihan (yang bekerja sama dengan Belanda) untuk dididik agar mampu membantu pemerintah kolonial di bawah kendali Belanda. Disamping itu Belanda ingin menjadikan Hindia sebagai salah satu negara federasinya.

2.2.Perubahan Elit Tradisional ke Elit Modern
Ada baiknya kita menelisik salah satu faktor yang mempelopori bangsa Eropa untuk sedikit memanusiakan manusia jajahannya. Tilaar (2007:83) menyebutkan “teori yang dicetuskan Rousseau pada masa Aufklarung tentang pendidikan yang wajib memberikan kebebasan kepada manusia dalam memilih sesuai dengan keinginannya”. Sedikit banyak pendapat Rouseau tersebut memiliki pengaruh secara tidak langsung kepada golongan pribumi untuk memperoleh pendidikan dan memperoleh kebebasan.
Brinton (1981:153) menyebutkan “kebudayaan modern Barat terbentuk sekitar abad ke – 15 sampai dengan ke – 18. Mereka mulai mengutamakan pendidikan dan rasionalitas pikiran daripada hanya sekedar dogma gereja”. Jelas perkembangan modernisasi di Eropa berdampak secara tidak langsung kepada kehidupan di daerah jajahan seperti Indonesia. Hal ini sesuai dengan pernyataan Niel (1984:56) “politik etis...memberikan rangsangan menimbulkan kesadaran pada angkatan muda Indonesia. Suasana yang sama juga memberikan rangsangan R.A. Kartini...menghasilkan wanita-wanita muda dan pemuda-pemuda elit Indonesia yang berpendidikan dalam kehidupan masyarakat yang berubah”.  Beberapa elit pribumi (tradisional) yang telah mendapat pendidikan dan pengaruh Barat telah secara tidak sengaja memiliki pemikiran Barat. Salah satu contoh sederhana yaitu konsep identitas bangsa dan nasionalisme yang sudah mulai dikaji dan dipelajari. Sementara pada masa tradisional sebelum memperoleh pengaruh Barat, tidak pernah terpikirkan konsep identitas dan nasionalisme oleh para elit tradisional. Seperti dikatakan Kusuma (2001:152) “...mahasiswa asal Hindia Belanda pada 1908 mendirikan perkumpulan sosial di negeri Belanda...namun mereka yang terkumpul dari beberapa suku berbeda masih belum tau kebangsaan mereka”.
Jika kita menetapkan standar baku dan batasan elit tradisional adalah orang – orang besar (priyayi) yang belum terpengaruh pemikiran Barat, seperti Kejawen dan Islam santri. Pada umumnya mereka (elit tradisional) berasal dari keluarga raja, bangsawan atau priyayi yang memperoleh status kebangsawanannya dari garis keturunan. Disamping itu ciri khusus elit tradisional seperti diungkapkan Niel (1984:58) “dualisme...orang Indonesia...pendidikan (rasionalitas) dan takhyul”. Lebih lanjut Graves (2007:11) menyebutkan...tingkat pengaruh yang dimiliki pihak elit tradisional dalam persaingan memperoleh kekayaan dan prestise didasarkan keturunan itu sendiri. Maka Suryanegara (2009:277) memiliki pendapat sendiri bahwa “perubahan pola pikir masyarakat Islam akan kesadaran teritorial dan identitas telah tergambarkan jauh sebelum pemikiran Barat hadir di Indonesia”. Artinya tidak bisa kita mengatakan bahwa Islam atau sebelum pemikiran Barat datang di Indonesia bahwa elit tradisional sangat rendah wawasannya.
Kembali pada mengapa dengan mudahnya kaum tradisional menerima segala perubahan yang datang dari Barat. Hal ini sangat unik dan membutuhkan penguraian teori kebudayaan yang membahas tentang perubahan kebudayaan. Seperti yang disebutkan Havilland (1988:252) menyebutkan bahwa “kemampuan berubah selalu merupakan sifat yang penting dalam kebudayaan manusia. Tanpa hal tersebut, kebudayaan tidak akan mampu menyesuaikan dengan keadaan yang selalu dinamis”. Lebih lanjut lagi disebutkan perubahan – perubahan yang terjadi pada kalangan elit tradisional menuju pada elit modern yang lebih bersifat Barat disebabkan oleh invention yang terjadi di Eropa dan dibawa melalui akulturasi antara pemerintah kolonial Belanda dengan penduduk pribumi dalam hal ini elit tradisional.
Tidak selamanya akulturasi berjalan mulus antara pemerintah kolonial dengan rakyat pribumi. Hal ini didasari atas perbedaan yang sangat mendasar, yaitu agama yang Islam yang dianut orang Pribumi Indonesia, sedangkan Belanda memiliki keyakinan Protestan. Pada mulanya golongan elit tradisional khususnya Islam santri memiliki keraguan atas pendidikan yang ditawarkan pemerintah kolonial. Jelas penyebabnya adalah pendidikan dengan sistem modern ala Barat yang mengesampingkan agama Islam dalam kurikulumnya. Namun disinilah letak kebrilianan Hurgronje sebagai antropolog profesional (bidang Islam) dari pihak pada Belanda yang berhasil meyakinkan para raja dan bangsawan Islam agar menyekolahkan anaknya di sekolah umum.
Seperti kita ketahui sebelumnya bahwa hanya sedikit dari golongan pribumi yang ingin bersekolah di sekolah – sekolah Belanda.  Hal ini didukung oleh pendapat Nagazumi (?:22) bahwa ”pada tahun 1902 hanya ada empat dari delapan bupati yang mampu menggunakan bahasa Belanda. Salah satu dari mereka adalah R.M. Koesoemo Oetoyo sebagai pemimpin gerakan Budi Utomo, sebagai komisaris pada 1909 dan sebagai ketua pada 1926”. Ini artinya belum banyak pribumi Jawa yang mau mengenyam pendidikan dari Belanda pada saat itu.
Hal yang menarik, diantara pribumi yang memperoleh pendidikan Barat seperti Koesoemo Oetoyo menularkan ide – ide yang luar biasa pada pribumi lain yang tidak tertarik pada pendidikan Belanda. Ide – ide tersebut antara lain memperkenalkan hierarki kolonial Belanda pada kaum elit pribumi dan bagaimana hierarki tersebut bekerja, juga proses dimana mereka (elit pribumi) semakin dalam terlibat (Nagazumi, ?:23). Ide – ide semacam itu semakin merangsang elit pribumi lain untuk bersekolah dan melakukan perubahan – perubahan sosial yang pada akhirnya nanti membentuk Budi Utomo dan Volksraad.  
Untuk tahap awal para elit modern ini biasanya muncul dan berkembang setelah mendapat pendidikan di Eropa. Seperti contoh, Achmad Djajadiningrat seorang anak bangsawan Banten dan keturunan Paku Alam yang banyak melanjutkan studi di Eropa. Namun berikutnya setelah didirikannya sekolah dokter STOVIA pada 1902 di Jawa, maka banyak muncul elit – elit modern yang memiliki pemikiran – pemikiran Barat yang, brilian seperti Radjiman Wideodiningrat, Boedi Oetomo, Tjipto Mangunkusumo, Wahidin Wirohoesodo dan lainnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hatmosoeprobo dalam Suwarno (1995:60) “anak-anak priyayi lulusan sekolah yang bahasa pengantarnya bahasa Belanda...kemudian hari tumbuh menjadi golongan intelektual yang biasa disebut modern Indonesia”. Kelak mereka akan membuka wawasan dan kesadaran masyarakat Indonesia akan nasionalisme, identitas dan hak layak untuk hidup sebagai manusia bebas. Tidak hanya itu pada tahun 1916 juga muncul organisasi massa bercorakkan agama yang disebut SI (Serekat Islam). Cukup banyak kontribusi para pemikir Serikat Islam bagi masyarakat seperti SI menghendaki natie dan berpemerintahan sendiri bagi rakyat Nusantara (Kusuma, 2001:152). Lebih lanjut Kartodirdjo dalam Suwarno menyebutkan (1995:8) “BO, SI, Muhammadyah, IP dan sebagainya berfungsi sebagai lambang identitas baru berdasarkan solidaritas modern (non-primordialis). Ide nasionalisme mentrasenden etnosentrisme, etno nasionalisme, serta segala jenis primordialisme dan komunalisme diganti solidaritas nasional.”
Sedang Nugraha (2011:76) menambahkan “pengaruh pemikiran Barat telah membuat orang pribumi mencari identitas sosial. Hal ini dapat terlihat dari banyaknya golongan priyayi Jawa yang kehilangan keyakinan terhadap mobilitas status yang diperoleh berdasarkan keturunan”. Mereka memasuki dunia intelektual yang agak terbebas dari tradisi kultural yang penuh dengan sikap hormat berlebihan. Dari mereka inilah lahir golongan yang berusaha mencari alternatif lain dari corak sosial dan sistem status masyarakat. Setelah memperoleh pendidikan Barat elit modern ini memiliki pemikiran faktor mobilitas sosial tidak lagi dipandang berdasarkan garis keturunan. Mereka beranggapan status sosial yang meningkat karena prestasi dibidang pendidikan, ekonomi dan lainnya lebih berhasil dan terpandang. Ini disebabkan status sosial yang diperoleh murni hasil kerja keras diri sendiri lebih baik ketimbang hanya memperoleh peningkatan status sosial dari garis  keturunan bangsawan yang merupakan “pemberian” keluarga. Hal ini sesuai dengan pendapat Graves (2007:252) “di Sumatera Barat pada tahun 1920-an, pendidikan sekuler berbahasa Belanda menjadi syarat penting untuk status elite...”.
Maka pada perkembangan berikutnya golongan elit modern terpelajar ini mulai merambah dan berkecimpung di berbagai bidang, seperti politik, sosial, budaya dan pendidikan. Tujuan mereka sama, yaitu memperoleh hak – hak layak hidup sebagai manusia yang bebas. Tidak terkecuali kesempatan mengenyam pendidikan bagi rakyat jelata, sampai kepada tuntutan kebebasan yang pada akhirnya berujung pada konsep kemerdekaan yang hakiki.
            Dalam hal ini kegiatan awal golongan elit modern dapat ditandai dengan mulai dibentuknya organisasi yang bersifat sosial – budaya seperti Boedi Oetomo pada tahun 1908 oleh Wahidin Wirohusodo. Mereka memfokuskan perhatian pada kesadaran identitas bangsa, nasionalisme dan persatuan beragam suku yang ada di Indonesia. Wahidin merekrut para mahasiswa alumni STOVIA untuk bergabung kepada Boedi Oetomo dalam rangka menyatukan visi dan misi yakni kebebasan dan hak layak hidup. Beberapa dari mereka yang bergabung pada Boedi Oetomo antara lain Tjipto Mangukumo dan Suwardi Suryaningat serta Soetomo. Dan dari mereka akan berkembang pula organisasi Indische Partij yang bergerak pada bidang politik yang fokus memperjuangkan nasionaslisme sebagai kesadaran nasional seluruh rakyat Indonesia dan lainnya.



1.      Penutup     
Elit modern merupakan golongan pribumi Indonesia yang pada dasarnya adalah orang – orang yang menerima perubahan kebudayaan serta pemikiran dari Barat. Perubahan budaya tradisional ke arah budaya modern ini merupakan pengaruh atau konsekwensi dari invention dan akulturasi yang dilakukan orang Eropa dengan orang Pribumi. Salah satu tonggak perubahan budaya pribumi Indonesia adalah dikeluarkannya kebijakan politik etis khususnya bidang pendidikan. Sistem pendidikan Barat yang diperkenalkan pada rakyat pribumi telah membuka wawasan dan peluang pikiran elit tradisional terpengaruh pemikiran Barat.
Pemikiran Barat disini adalah berupa ide – ide kebebasan, memperoleh hak hidup, nasionalisme dan persatuan daerah Indonesia. Hal ini sesusai dengan pendapat Rousseau yang menjunjung tinggi kebebasan dalam menentukan sesuatu. Selain itu semangat rasionalitas orang Eropa dalam belajar dan berpikir telah mempengaruhi pemikiran para elit modern Indonesia untuk mewujudkan masyarakat sejahtera yang merdeka.



Daftar Pustaka

Brinton, C. 1981. Pembentukan pemikiran modern. Jakarta : Mutiara
Graves, E. E. 2007. Asal-Usul Elite Minangkabau Modern Respons terhadap Kolonial Belanda Abad XIX/XX. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia
Havilland, W. A. 1988. Antropologi. Jakarta : Erlangga
Suwarno, P.J. (Ed.). 1995. Negara dan Nasionalisme Indonesia. Jakarta : Grasindo
Kusuma, A. B. 2001. “Persatuan, SARA, Globalisasi”. Tempo, hlm. 152
Nagazumi, A. ?. Bangkitnya Nasionalisme Indonesia Budi Utomo 1908 – 1918. ?
Niel, V. R. 1984. Kemunculan elit Modern Indonesia. Jakarta :Pustaka Jaya
Nugraha, P. Iskandar. Teosofi, Nasionalisme dan Elit Modern Indonesia. Jakarta : Komunitas Bambu.
Ricklef, H. C. 1991. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta : Gadjah Modern
Suryanegara, A. M. 2009. Api Sejarah. Bandung : Salamadani
Tilaar, H.A.R. 2007. Mengindonesia Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta

Oleh : H. Harahap