1.
Pengantar
Istilah elit modern mungkin sangat
jarang didengar saat ini di Indonesia dalam perspektif sejarah. Saya mencoba
kembali mengulas cerita tentang elit modern di Indonesia pada masa kolonial
dalam penelitian sederhana ini. Sembari kembali menyegarkan ingatan kita
tentang suatu tonggak perubahan sangat signifikan kehidupan Indonesia yang
kelak berdampak sangat besar pada perjalanan bangsa Indonesia kedepannya.
Elit modern itu sendiri dianggap begitu
penting dan menarik, karena merupakan bagian penting dari suatu rentetan
peristiwa seputar sejarah pendidikan di Indonesia. Jadi, pada masa sebelum
kolonialisasi Belanda hingga pada masa politik etis di Indonesia, terdapat satu
kesatuan budaya asli yang masih tradisional yang dianut oleh masyarakat
Indonesia. Kebudayaan asli ini masih dijaga eksistensinya oleh masyarakat
Indonesia, seperti pengabdian kepada raja, pemilik tanah hingga pada kelayakan
perolehan pendidikan hanya pada golongan bangsawan. Maka muncullah golongan
elit tradisional seperti raja, tuan tanah dan bangsawan yang memiliki harkat,
martabat dan derajat sangat tinggi di Indonesia dikarenakan kedudukan atau
jabatan yang dipegangnya.
Terjadi lonjakan perubahan sangat
signifikan pada persepesi dan budaya masyarakat terhadap golongan elit setelah
terjadi politik etis di Indonesia. Setelah orang – orang pribumi yang mampu
bersekolah dan memiliki prestasi di lapangan, timbul persepsi baru dari
masyarakat Indonesia pada saat itu menanggap mereka yang terpelajar sebagai
golongan elit modern. Golongan elit yang mampu eksis dan terpandang tanpa ada hubungan
kekerabatan dengan kerajaan atau dengan bangsawan.
Pertanyaan
penelitian :
1.
Apa
latar belakang munculnya elit modern ?
2.
Bagaimana
proses kemunculan elit modern di Indonesia ?
2.
Pembahasan
2.1.Politik Etis
Selintas kemunculan elit modern tidak
bisa dipisahkan dari peristiwa politik etis yang terjadi di Indonesia. Politik
etis merupakan gerbang perubahan budaya tradisional dalam hal pandangan hidup
kepada modernisasi ala Barat melalui pendidikan. Seperti disebutkan Ricklef
(1991:227) bahwa “kaum sosial demokrat telah berusaha mengeluarkan kritikan
tajam terhadap pemerintah Belanda dalam hal eksploitasi kekayaan alam dan
manusia di Indonesia. Telah terjadi keadaan ekonomi dan kemanusiaan yang sangat
memprihatinkan di Indonesia selama masa kolonial”.
Setelah menuai banyak kritikan dari
golongan sosial demokrat dalam hal kebijakan pemerintah kolonial di Indonesia,
maka pemerintah kolonial melonggarkan kebijakan – kebijakan yang bersifat
eksploitasi dalam bentuk politik etis. Salah satu kebijakan dalam politik etis
adalah penyelenggaraan pendidikan pada rakyat Indonesia. Setelah kebijakan
politik etis ini diterapkan banyak rakyat Indonesia bisa mengenyam pendidikan
di sekolah umum. Meski awalnya hanya keluarga bangsawan dan orang kaya yang
mampu bersekolah, namun lama – lama kelamaan rakyat biasa bisa bersekolah di
sekolah umum.
Niel (1984:55) menyebutkan “Hurgronje
banyak menyumbangkan saran kepada pemerintah kolonial untuk memberikan
pendidikan yang bercirikan Barat kepada golongan elit pribumi”. Namun menurut
Suryanegara hal ini dianggap sebagai sebuah pendangkalan akidah Islam.
Suryanegara (2009:327) menyebutkan “politik etis merupakan praktik imperialisme
gaya baru yang diciptakan oleh Belanda. Khusus pada pendidikan, pemerintah
kolonial Belanda sengaja merubah sistem pendidikan agama Islam ala pesantren
menjadi sistem pendidikan ala Barat yang lebih modern”.
Pendapat Suryanegara diperkuat oleh
Nagazumi (?:28) bahwa
“tujuan
politik etis; 1. Meningkatkan kesejahteraan penduduk pribumi dan 2. Berangsur –
angsur menumbuhkan otonomi dan desentralisasi politik di Hindia Belanda. Hal
ini didasari pada tiga prinsip : kekuasaan pemerintah harus dialihkan 1. Dari
Negeri Belanda ke Hindia 2. Dari Batavia ke daerah – daerah 3. Dari bangsa
Eropa ke penduduk pribumi”.
Ini artinya terjadi perubahan cara
kolonialisasi dari cara kuno dengan tanam paksa menjadi neo kolonialisasi yang
lebih moderat. Cukup melalui pribumi – pribumi yang tunduk dan bekerja sama
pada Belanda, mereka (Belanda) mampu menjajah Indonesia. Maka untuk memuluskan
tujuannya Belanda mendidik dan melatih pribumi – pribumi pilihan (yang bekerja
sama dengan Belanda) untuk dididik agar mampu membantu pemerintah kolonial di bawah
kendali Belanda. Disamping itu Belanda ingin menjadikan Hindia sebagai salah
satu negara federasinya.
2.2.Perubahan Elit
Tradisional ke Elit Modern
Ada baiknya kita menelisik salah satu
faktor yang mempelopori bangsa Eropa untuk sedikit memanusiakan manusia
jajahannya. Tilaar (2007:83) menyebutkan “teori yang dicetuskan Rousseau pada
masa Aufklarung tentang pendidikan yang wajib memberikan kebebasan kepada
manusia dalam memilih sesuai dengan keinginannya”. Sedikit banyak pendapat
Rouseau tersebut memiliki pengaruh secara tidak langsung kepada golongan
pribumi untuk memperoleh pendidikan dan memperoleh kebebasan.
Brinton (1981:153) menyebutkan
“kebudayaan modern Barat terbentuk sekitar abad ke – 15 sampai dengan ke – 18.
Mereka mulai mengutamakan pendidikan dan rasionalitas pikiran daripada hanya
sekedar dogma gereja”. Jelas perkembangan modernisasi di Eropa berdampak secara
tidak langsung kepada kehidupan di daerah jajahan seperti Indonesia. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Niel (1984:56) “politik etis...memberikan rangsangan
menimbulkan kesadaran pada angkatan muda Indonesia. Suasana yang sama juga
memberikan rangsangan R.A. Kartini...menghasilkan wanita-wanita muda dan
pemuda-pemuda elit Indonesia yang berpendidikan dalam kehidupan masyarakat yang
berubah”. Beberapa elit pribumi (tradisional)
yang telah mendapat pendidikan dan pengaruh Barat telah secara tidak sengaja
memiliki pemikiran Barat. Salah satu contoh sederhana yaitu konsep identitas
bangsa dan nasionalisme yang sudah mulai dikaji dan dipelajari. Sementara pada
masa tradisional sebelum memperoleh pengaruh Barat, tidak pernah terpikirkan
konsep identitas dan nasionalisme oleh para elit tradisional. Seperti dikatakan
Kusuma (2001:152) “...mahasiswa asal Hindia Belanda pada 1908 mendirikan
perkumpulan sosial di negeri Belanda...namun mereka yang terkumpul dari
beberapa suku berbeda masih belum tau kebangsaan mereka”.
Jika kita menetapkan standar baku dan
batasan elit tradisional adalah orang – orang besar (priyayi) yang belum
terpengaruh pemikiran Barat, seperti Kejawen dan Islam santri. Pada umumnya
mereka (elit tradisional) berasal dari keluarga raja, bangsawan atau priyayi
yang memperoleh status kebangsawanannya dari garis keturunan. Disamping itu
ciri khusus elit tradisional seperti diungkapkan Niel (1984:58) “dualisme...orang
Indonesia...pendidikan (rasionalitas) dan takhyul”. Lebih lanjut Graves
(2007:11) menyebutkan...tingkat pengaruh yang dimiliki pihak elit tradisional
dalam persaingan memperoleh kekayaan dan prestise didasarkan keturunan itu
sendiri. Maka Suryanegara (2009:277) memiliki pendapat sendiri bahwa “perubahan
pola pikir masyarakat Islam akan kesadaran teritorial dan identitas telah
tergambarkan jauh sebelum pemikiran Barat hadir di Indonesia”. Artinya tidak
bisa kita mengatakan bahwa Islam atau sebelum pemikiran Barat datang di
Indonesia bahwa elit tradisional sangat rendah wawasannya.
Kembali pada mengapa dengan mudahnya
kaum tradisional menerima segala perubahan yang datang dari Barat. Hal ini
sangat unik dan membutuhkan penguraian teori kebudayaan yang membahas tentang
perubahan kebudayaan. Seperti yang disebutkan Havilland (1988:252) menyebutkan
bahwa “kemampuan berubah selalu merupakan sifat yang penting dalam kebudayaan
manusia. Tanpa hal tersebut, kebudayaan tidak akan mampu menyesuaikan dengan
keadaan yang selalu dinamis”. Lebih lanjut lagi disebutkan perubahan –
perubahan yang terjadi pada kalangan elit tradisional menuju pada elit modern
yang lebih bersifat Barat disebabkan oleh invention
yang terjadi di Eropa dan dibawa melalui akulturasi antara pemerintah kolonial
Belanda dengan penduduk pribumi dalam hal ini elit tradisional.
Tidak selamanya akulturasi berjalan
mulus antara pemerintah kolonial dengan rakyat pribumi. Hal ini didasari atas
perbedaan yang sangat mendasar, yaitu agama yang Islam yang dianut orang
Pribumi Indonesia, sedangkan Belanda memiliki keyakinan Protestan. Pada mulanya
golongan elit tradisional khususnya Islam santri memiliki keraguan atas
pendidikan yang ditawarkan pemerintah kolonial. Jelas penyebabnya adalah
pendidikan dengan sistem modern ala Barat yang mengesampingkan agama Islam
dalam kurikulumnya. Namun disinilah letak kebrilianan Hurgronje sebagai antropolog
profesional (bidang Islam) dari pihak pada Belanda yang berhasil meyakinkan
para raja dan bangsawan Islam agar menyekolahkan anaknya di sekolah umum.
Seperti kita ketahui sebelumnya bahwa
hanya sedikit dari golongan pribumi yang ingin bersekolah di sekolah – sekolah
Belanda. Hal ini didukung oleh pendapat
Nagazumi (?:22) bahwa ”pada tahun 1902 hanya ada empat dari delapan bupati yang
mampu menggunakan bahasa Belanda. Salah satu dari mereka adalah R.M. Koesoemo
Oetoyo sebagai pemimpin gerakan Budi Utomo, sebagai komisaris pada 1909 dan
sebagai ketua pada 1926”. Ini artinya belum banyak pribumi Jawa yang mau
mengenyam pendidikan dari Belanda pada saat itu.
Hal yang menarik, diantara pribumi yang
memperoleh pendidikan Barat seperti Koesoemo Oetoyo menularkan ide – ide yang
luar biasa pada pribumi lain yang tidak tertarik pada pendidikan Belanda. Ide –
ide tersebut antara lain memperkenalkan hierarki kolonial Belanda pada kaum
elit pribumi dan bagaimana hierarki tersebut bekerja, juga proses dimana mereka
(elit pribumi) semakin dalam terlibat (Nagazumi, ?:23). Ide – ide semacam itu
semakin merangsang elit pribumi lain untuk bersekolah dan melakukan perubahan –
perubahan sosial yang pada akhirnya nanti membentuk Budi Utomo dan Volksraad.
Untuk tahap awal para elit modern ini
biasanya muncul dan berkembang setelah mendapat pendidikan di Eropa. Seperti
contoh, Achmad Djajadiningrat seorang anak bangsawan Banten dan keturunan Paku
Alam yang banyak melanjutkan studi di Eropa. Namun berikutnya setelah
didirikannya sekolah dokter STOVIA pada 1902 di Jawa, maka banyak muncul elit –
elit modern yang memiliki pemikiran – pemikiran Barat yang, brilian seperti Radjiman
Wideodiningrat, Boedi Oetomo, Tjipto Mangunkusumo, Wahidin Wirohoesodo dan
lainnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hatmosoeprobo dalam Suwarno (1995:60)
“anak-anak priyayi lulusan sekolah yang bahasa pengantarnya bahasa
Belanda...kemudian hari tumbuh menjadi golongan intelektual yang biasa disebut
modern Indonesia”. Kelak mereka akan membuka wawasan dan kesadaran masyarakat
Indonesia akan nasionalisme, identitas dan hak layak untuk hidup sebagai
manusia bebas. Tidak hanya itu pada tahun 1916 juga muncul organisasi massa
bercorakkan agama yang disebut SI (Serekat Islam). Cukup banyak kontribusi para
pemikir Serikat Islam bagi masyarakat seperti SI menghendaki natie dan berpemerintahan sendiri bagi
rakyat Nusantara (Kusuma, 2001:152). Lebih lanjut Kartodirdjo dalam Suwarno menyebutkan
(1995:8) “BO, SI, Muhammadyah, IP dan sebagainya berfungsi sebagai lambang
identitas baru berdasarkan solidaritas modern (non-primordialis). Ide
nasionalisme mentrasenden etnosentrisme, etno nasionalisme, serta segala jenis
primordialisme dan komunalisme diganti solidaritas nasional.”
Sedang Nugraha (2011:76) menambahkan
“pengaruh pemikiran Barat telah membuat orang pribumi mencari identitas sosial.
Hal ini dapat terlihat dari banyaknya golongan priyayi Jawa yang kehilangan
keyakinan terhadap mobilitas status yang diperoleh berdasarkan keturunan”.
Mereka memasuki dunia intelektual yang agak terbebas dari tradisi kultural yang
penuh dengan sikap hormat berlebihan. Dari mereka inilah lahir golongan yang
berusaha mencari alternatif lain dari corak sosial dan sistem status
masyarakat. Setelah memperoleh pendidikan Barat elit modern ini memiliki
pemikiran faktor mobilitas sosial tidak lagi dipandang berdasarkan garis
keturunan. Mereka beranggapan status sosial yang meningkat karena prestasi
dibidang pendidikan, ekonomi dan lainnya lebih berhasil dan terpandang. Ini
disebabkan status sosial yang diperoleh murni hasil kerja keras diri sendiri lebih
baik ketimbang hanya memperoleh peningkatan status sosial dari garis keturunan bangsawan yang merupakan
“pemberian” keluarga. Hal ini sesuai dengan pendapat Graves (2007:252) “di
Sumatera Barat pada tahun 1920-an, pendidikan sekuler berbahasa Belanda menjadi
syarat penting untuk status elite...”.
Maka pada perkembangan berikutnya
golongan elit modern terpelajar ini mulai merambah dan berkecimpung di berbagai
bidang, seperti politik, sosial, budaya dan pendidikan. Tujuan mereka sama,
yaitu memperoleh hak – hak layak hidup sebagai manusia yang bebas. Tidak
terkecuali kesempatan mengenyam pendidikan bagi rakyat jelata, sampai kepada
tuntutan kebebasan yang pada akhirnya berujung pada konsep kemerdekaan yang
hakiki.
Dalam hal ini kegiatan
awal golongan elit modern dapat ditandai dengan mulai dibentuknya organisasi
yang bersifat sosial – budaya seperti Boedi Oetomo pada tahun 1908 oleh Wahidin
Wirohusodo. Mereka memfokuskan perhatian pada kesadaran identitas bangsa,
nasionalisme dan persatuan beragam suku yang ada di Indonesia. Wahidin merekrut
para mahasiswa alumni STOVIA untuk bergabung kepada Boedi Oetomo dalam rangka
menyatukan visi dan misi yakni kebebasan dan hak layak hidup. Beberapa dari
mereka yang bergabung pada Boedi Oetomo antara lain Tjipto Mangukumo dan
Suwardi Suryaningat serta Soetomo. Dan dari mereka akan berkembang pula
organisasi Indische Partij yang bergerak pada bidang politik yang fokus
memperjuangkan nasionaslisme sebagai kesadaran nasional seluruh rakyat
Indonesia dan lainnya.
1.
Penutup
Elit modern merupakan golongan pribumi
Indonesia yang pada dasarnya adalah orang – orang yang menerima perubahan
kebudayaan serta pemikiran dari Barat. Perubahan budaya tradisional ke arah
budaya modern ini merupakan pengaruh atau konsekwensi dari invention dan akulturasi yang dilakukan orang Eropa dengan orang
Pribumi. Salah satu tonggak perubahan budaya pribumi Indonesia adalah
dikeluarkannya kebijakan politik etis khususnya bidang pendidikan. Sistem
pendidikan Barat yang diperkenalkan pada rakyat pribumi telah membuka wawasan
dan peluang pikiran elit tradisional terpengaruh pemikiran Barat.
Pemikiran Barat disini adalah berupa ide
– ide kebebasan, memperoleh hak hidup, nasionalisme dan persatuan daerah
Indonesia. Hal ini sesusai dengan pendapat Rousseau yang menjunjung tinggi
kebebasan dalam menentukan sesuatu. Selain itu semangat rasionalitas orang
Eropa dalam belajar dan berpikir telah mempengaruhi pemikiran para elit modern
Indonesia untuk mewujudkan masyarakat sejahtera yang merdeka.
Daftar Pustaka
Brinton,
C. 1981. Pembentukan pemikiran modern.
Jakarta : Mutiara
Graves,
E. E. 2007. Asal-Usul Elite Minangkabau
Modern Respons terhadap Kolonial Belanda Abad XIX/XX. Jakarta : Yayasan
Obor Indonesia
Havilland,
W. A. 1988. Antropologi. Jakarta :
Erlangga
Suwarno,
P.J. (Ed.). 1995. Negara dan Nasionalisme
Indonesia. Jakarta : Grasindo
Kusuma,
A. B. 2001. “Persatuan, SARA, Globalisasi”. Tempo,
hlm. 152
Nagazumi,
A. ?. Bangkitnya Nasionalisme Indonesia
Budi Utomo 1908 – 1918. ?
Niel,
V. R. 1984. Kemunculan elit Modern
Indonesia. Jakarta :Pustaka Jaya
Nugraha,
P. Iskandar. Teosofi, Nasionalisme dan
Elit Modern Indonesia. Jakarta : Komunitas Bambu.
Ricklef,
H. C. 1991. Sejarah Indonesia Modern.
Yogyakarta : Gadjah Modern
Suryanegara,
A. M. 2009. Api Sejarah. Bandung :
Salamadani
Tilaar,
H.A.R. 2007. Mengindonesia Etnisitas dan
Identitas Bangsa Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta
Oleh : H. Harahap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar