Sejak abad ke 16 pemerintah kolonial Belanda memindahkan markas VOC dari Maluku ke Jayakarta (Ricklef:1991). Pertimbangan pemerintah kolonial Belanda saat itu adalah Jayakarta lebih ramai sebagai jalur dan pusat perdagangan ketimbang Maluku. VOC mulai membangun pelabuhan dan seiring dengan perkembangan perdagangan mereka juga membangun kota Batavia.
Pada tahun - tahun awal VOC di Jayakarta, VOC mengalami kesulitan karena mendapat perlawanan dari Sultan Agung dari Mataram dan Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten. Meski dalam beberapa pertempuran VOC mengalami kemenangan, tetapi peperangan cukup mengganggu keadaan perekonomian VOC. Baru pada penerus Sultan Agung, yaitu Amangkurat I kerjasama VOC dengan Mataram bisa dilakukan. Begitu pula Banten, ketika Sultan Aji berkuasa, VOC menjalin kerjasama yang baik dengan Banten.
Selama kerjasama yang baik itu terjalin, VOC membangun pos dagang di beberapa daerah seperti di pesisir utara dan di Banten. Beriiringan dengan dibangunnya pos dagang di daerah tersebut, maka dibangun pula fasilitas - fasilitas umum seperti pelabuhan, jalan dan lainnya. Berbeda halnya dengan daerah luar pulau Jawa yang relatif tidak terjangkau atau bahkan tidak pernah sama sekali di duduki oleh VOC.
Seperti disebutkan Kozok (2010), bahwa baru pada tahun 1870-an pemerintah kolonial Belanda melakukan ekspansinya ke seluruh wilayah Indonesia. Sejak awal pemerintah kolonial Belanda telah menetapkan kebijakan untuk menjadikan Jawa sebagai pusat pemerintahan. Salah satu bahan pertimbangannya adalah Jawa relatif mudah “dikontrol” oleh Pemerintah kolonial Belanda, dibanding daerah lain di luar Jawa. Disamping itu sistem feodal dan kepatuhan rakyat kepada raja dan bangsawan juga membuat rakyat Jawa relatif lebih mudah diatur oleh pemerintah kolonial Belanda yang berhasil menjalin kerjasama dengan para raja dan bangsawan.
Jelaslah sejak awal pemerintah kolonial Belanda membangun dan menambah fasilitas umum yang mendukung kegiatan perdagangan pemerintah kolonial lebih banyak di Jawa, ketimbang di daerah lain. Setelah bangsa Indonesia merdeka tahun 1945, Soekarno tetap mempertahankan Jawa sebagai pusat pemerintahan republik Indonesia. Untuk tahap awal dalam mengisi hari - hari setelah merdeka, pemilihan Jawa sebagai pusat pemerintahan bisa dimaklumi. Keadaan serba prihatin, baik dari segi keamanan maupun ekonomi mendukung kebijakan Soekarno tersebut.
Namun di kemudian hari keputusan mempertahankan Jawa sebagai pusat pemerintahan menuai berbagai kritik dan tindakan pemberontakan dari rakyat di daerah. Banyak hal yang mendorong ketidakpuasan rakyat luar Jawa terhadap pemerintah di Jawa. Mulai dari diskriminasi pembagian hasil pajak yang lebih berat ke Jawa daripada daerah lain, sampai pada pembangunan fasilitas umum yang tidak berimbang antara Jawa dan daerah.
Untuk mengatasi masalah - masalah pergolakan di daerah, pemerintah telah melakukan kebijakan pemberian otonomi daerah pada setiap daerah. Cara ini cukup efektif untuk sementara waktu menstabilkan keamanan dan kecurigaan daerah terhadap pusat. Namun akhir - akhir ini muncul kembali pergolakan di Papua Barat yang memprotes perlakuan Jawa yang diskriminatif pada penduduk Papua Barat.
Tidak ada salahnya kita mencoba untuk memindahkan ibukota pemerintahan ke kota lain untuk memperbaiki perlakuan - perlakuan pusat terhadap daerah dan mengurangi kecurigaan daerah terhadap Pusat yang dalam hal ini Jawa. Untuk itu Makassar merupakan kota yang sangat tepat untuk dijadikan ibukota pemerintahan republik Indonesia. Dengan pertimbangan Secara teritorial kota Makassar lebih dekat dengan Papua Barat, hingga dapat memudahkan pemerintah untuk melaksanakan pembangunan ke daerah Papua Barat. Mengingat bahwa daerah Indonesia Timur sedikit lebih tertinggal pembangunan daerahnya dibanding daerah Indonesia Barat.
Indonesia memiliki kemampuan melaksanakan pemerintahan di luar Jawa. Sejarah tercatat bahwa republik Indonesia pernah beribukota di Bukitinggi Sumatera Barat tahun 1948 - 1949 pada masa PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia). Negara tetangga Malaysia juga melakukan kebijakan pemindahan ibukota pemerintahan dari kota Kuala Lumpur ke kota Putrajaya. Kebijakan itu dilakukan pemerintah Malaysia karena kondisi kota Kuala Lumpur yang sudah tidak layak dijadikan ibukota pemerintahan dengan pertambahan penduduknya yang banyak.
Jika ditelisik lebih jauh pada kondisi ibukota republik Indonesia, maka kota Jakarta sudah sangat jauh dari kondisi layak sebagai ibukota pemerintahan suatu negara. Kemacetan lalulintas, kepadatan penduduk, banjir, kesemerawutan tatakota semakin menambah ketidaklayakan Jakarta sebagai ibukota. Sudah sangat tepat apabila ibukota dipindahkan ke daerah lain, seperti kota Makassar. Kota Makassar merupakan tempat yang sangat ideal dalam menyeimbangkan pembangunan daerah antara daerah Indonesia Timur dengan Indonesia Barat. Disamping itu kota Makassar telah memiliki fasilitas umum penunjang kegiatan pemerintahan, yang akan membantu mengurangi biaya anggaran pembangunan dan penambahan fasilitas penunjang kegiatan pemerintahan.
Oleh : H. Harahap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar