Kembali membuka lembaran memori dimasa lalu, bahwa republik Indonesia pernah mengalami kekosongan wakil presiden. Ini terjadi pada era pemerintahan orde lama dibawah kepemimpinan presiden Soekarno tahun 1956 dan pada era kepemimpinan presiden B.J. Habibie pasca lengsernya presiden Soeharto tahun 1998.
Seperti kita ketahui bahwa sejak tahun 1950 berlakunya UUD Sementara, wakil presiden Hatta telah mulai mengingatkan pada parlemen bahwa masa baktinya telah habis (Pamungkas:2001). Namun parlemen kembali mengangkat beliau menjadi wakil presiden. Setelah dilantik sebagai wakil presiden, Hatta kembali lagi mengingatkan bahwa pengangkatan dirinya ini hanya bersifat sementara.
Puncaknya pada tahun 1956 ketika permohonan pengunduran diri wakil presiden Hatta diterima oleh parlemen. Parlemen dan juga presiden Soekarno mengabulkan permohonan pengunduran diri wakil presiden Hatta. Tidak diketahui secara pasti apa hal yang menyebabkan wakil presiden Hatta ngotot untuk berhenti sebagai wakil presiden. Diketahui diakhir kepemerintahan Hatta sebagai wakil presiden, terjadi perbedaan visi dan pemikiran antara Hatta dan Soekarno tentang republik ini.
Perbedaan pandangan mereka yang paling mencolok adalah tentang revolusi Indonesia. Presiden Soekarno menganggap revolusi belum berakhir dan harus terus dilakukan sampai cita - cita bangsa tercapai. Cita - cita yang dimaksud presiden Soekarno adalah masyarakat adil dan makmur yang akan diperoleh melalui revolusi sosial - ekonomi. Sedangkan revolusi menurut wakil presiden Hatta telah berakhir. Menurutnya revolusi berlangsung tidak dalam waktu lama, hanya beberapa bulan saja. Lebih lanjut wakil presiden Hatta menambahkan bahwa usaha pencapaian cita -cita bangsa itulah yang harus di lanjutkan (Alam:2003).
Praktis sejak tahun 1956 presiden Soekarno memerintah republik Indonesia tanpa wakil presiden. Saat itu tidak ada kebijakan parlemen untuk melakukan pemilihan wakil presiden pengganti Hatta. Tidak diketahui secara pasti alasan mengapa pemilihan wakil presiden tidak dilaksanakan. Namun pada tahun 1957 parlemen berhasil mengeluarkan keputusan sementara mengenai pengganti presiden apabila berhalangan dalam memerintah republik Indonesia. Keputusan tersebut adalah apabila presiden dan wakil presiden berhalangan memerintah republik, maka ketua parlemen berhak untuk mengambil alih kekuasaan dan menjadi presiden.
Namun pada akhirnya keputusan sementara parlemen tersebut tidak pernah terlaksana, karena pada 5 Juli 1959 presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit presiden. Selain merubah sistem demokrasi liberal menjadi demoktasi terpimpin, presiden Sokearno juga membubarkan parlemen dan menggantinya dengan MPRS. Begitu juga dengan DPR hasil pemilu 1955, yang dibubarkan pada tahun 1960 karena tidak menyepakati usulan presiden Soekarno tentang penyetujuan Rencana Anggaran Belanja Negara. Sebagai gantinya presiden Soekarno menyusun DPR baru yang diberi nama Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong. Oleh karena itu pada saat terjadinya gejolak politik, keamanan dan ekonomi dampak pemberontakan PKI di tahun 1965 sampai dengan 1966, maka dengan mudah Soeharto “melenggang” menuju kursi presiden republik Indonesia.
Sedangkan pada kasus lain, pada masa akhir pemerintahan presiden Soeharto, B.J. Habibie terpilih sebagai wakil presiden republik Indonesia. Pasca lengsernya presiden Soeharto, secara “otomatis” B.J. Habibie berhak mengisi jabatan presiden yang kosong ditinggalkan presiden Soeharto. Setelah B.J. Habibie dilantik menjadi presiden republik Indonesia, kursi wakil presiden kembali “dibiarkan” kosong oleh MPR. Tidak ada upaya MPR untuk melakukan pemilihan wakil presiden yang kosong ditinggalkan B.J. Habibie. Sampai saat ini belum diketahui mengapa kursi wakil presiden dibiarkan kosong oleh MPR. Kemungkinan ada anggapan saat itu bahwa pasangan presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu paket atau dalam satu pasangan pemilihan. Jadi dalam kondisi itu tidak memungkinkan dilakukan pemilihan wakil presiden yang merupakan kandidat yang berasal dari luar pasangan tersebut.
Akibatnya ketika pada tahun 1999 presiden B.J. Habibie lengser dari jabatannya, MPR “terpaksa” melakukan pemilihan umum presiden dan wakil presiden kembali. Jelas bahwa pemilihan tersebut menyita lebih banyak anggaran negara, dari pada sekedar memilih wakil presiden untuk mendampingi presiden B.J. Habibie. Artinya jika saat itu pemilihan wakil presiden terlaksana, maka wakil presiden tersebut kelak yang berhak langsung menggantikan B.J. Habibie menjadi presiden.
Oleh : H. Harahap