Oleh : Didik Pradjoko
Perkembangan media cetak sudah muncul
sejak adab ke-18, ketika VOC menerbitkan laporan-laporan kegiatan VOC dan
berita-berita lelang dalam Bataviasch Nouvelles tahun 1745, yang kemudian
disusul oleh penerbitan berbagai Koran berita, perdagangan (handelsblad) dan
advertentieblad (iklan) yang didirikan oleh orang Belanda sampai abad ke-19.
Pada abad ke-19 inilah akibat perubahan sosial, ekonomi dan teknologi yang
semakin maju muncul juga Koran dan majalah berbahasa Melayu baik yang
diterbitkan oleh kalangan Belanda, Indo Belanda dan Tionghoa. Seperti Soerat
Kabar Berbahasa Melaijoe (Surabaya, 1856), Slompret Melayoe (Semarang, 1860),
Bintang Timur (Surabaya, 1862 dan Padang 1865). Selain itu yang cukup menarik
adalah munculnya Koran-koran berbahasa daerah baik yang ada di Jawa maupun
daerah luar Jawa.[1]
Koran-koran
Jawa misalnya diterbitkan awalnya oleh kalangan Belanda dan Indo Belanda,
seperti Bromartani terbit tahun 1855 di Surakarta diawaki oleh C. F. Winter
yang ahli bahsa dan budaya Jawa. Namun penggunaan aksara dan bahasa Jawa dalam
Koran tersebut membuat tertobosan baru mengingat banyak orang Jawa yang belum
dapat membaca huruf latin atau menggunakan bahasa Melayu. Sebagai catatan pada
awal abad ke-20 sebagian besar masyarakat Indonesia belum dapat menggunakan
bahasa Melayu yang hanya dipergunakan sebagian penduduk di Sumatera dan
daerah-daerah yang menggunakan dialek Melayu, selain sebagai bahasa pengantar
tidak resmi di kalangan masyarakat di kota-kota dagang di Indonesia.
Daya
tarik Koran-koran yang diterbitkan pada waktu itu adalah berisi pemberitaan
tentang kisah-kisah sejarah, sastra, berita pemerintah, pelelangan barang,
mutasi pejabat, berita tetrkait pertanian, industri, berita lokal dan bahkan
berita dari luar negeri, selain iklan-iklan produk dan juga jadwal
keberangkatan kapal-kapal. Secara umum surat kabar-surat kabar yang diterbitkan
tersebut dapat dibagi atas 3 tipologi, yaitu pers Belanda, pers Tionghoa dan
pers Pribumi.[2]
Pada
awal abad ke-20 muncullah kaum intelegensia yang mengalami pendidikan Barat
namun jiwa dan semangat yang muncul dari mereka adalah anti penjajah/Belanda.
Mereka mulai mendirikan berbagai organisasi baik yang bersifat lokal, sosial,
budaya, politik maupun keagamaan. Dalam memperjuangankan gagasan dan ide-idenya
mereka juga menggunakan media surat kabar sebagai sarana menyampaikan pesan
kepada anggotanya dan juga khalayak luas.[3]
Terkait
dengan hubungan antara media cetak atau pers dengan semangat kebangsaan Ahmat
Adam berpendapat bahwa perkemabngan media cetak atau pers yang marak sejak abad
ke-19 terutama di Pulau Jawa turut menumbuhkan semangat kebvangsaan atau modern
Indonesia conciousness, yang pada dasarnya adalah keinginan bangsa Indonesia
untuk berpikir dan bertindak untuk meningkatkan diri dalam bidang-bidang
sosial, ekonomi, politik dalam kehidupan masyarakat kolonial.[4]
Kaum intelegensia mengusung gagasan tentang ‘kemadjoean’ atau progress, mereka
mempunyai pandangan dan cita-cita terhadap realitas dan perubahan sosial yang
diharapkan melalui perjuangan organisasi dan juga melalui pers. Bagi mereka
pers dapat menjadi media yang bisa memberitakan kejadian-kejadian penting yang
dapat menginspirasi pembacanya untuk maju dan pintar.
Kesadaran
seperti inilah yang muncul lambat laun setelah banyak penduduk yang mengakui
dan membaca isi berita Koran-koran. Fungsi pers selain sebagai penyebar
informasi, juga menjadi medium yang baik untuk meletakkan pengaruh pada publik
atau pembaca, selain itu pers juga mempunyai potensi membangkitkan kesadaran
kolektif.[5]
R.
M. Tirtoadhisoerjo merupakan perintis perjuangan pers pergerakan kebangsaan
ketika menerbitkan surat Kabar Medan Prijaji tahun 1907 di Bandung. Medan
Prijaji banyak mengkritik kebijakan penguasa lokal maupun kolonial yang yang
dinilai korup dan mengeksploitasi rakyat, sangat peduli akan nasib
kesejahteraan dan pendidikan rakyat pribumi. Tentunya Medan Prijaji hanyalah
salah satu contoh pers diantara puluhan pers pergerakan, baik itu Budi Utomo,
Serekat Islam, Muhammadiyah, Indische Partij, Perhimpunan Indonesia dan
lain-lain.
[1] Untuk melihat data tentang nama
surat kabar selama abad ke-19 dan awal abad ke-20 dibaca dalam Subab, C.
‘Perkembangan Pers Indonesia’ dalam Buku Sejarah
Nasional Indonesia Jilid V, Depdikbud, 1984, Bab IV tentang Komunikasi
Sosial dan Edukasi.
[2] Ahmat Adam, Sejarah Awal Pers
dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan, Jakarta, Hasta Mitra, Pustaka Utan
Kayu, KITLV-Jakarta, 2003.
[3] Andi Suwirta, Suar dari Dua
Kota: Revolusi Indonesia dalam Pandangan Surat Kabar Merdeka (Jakarta) dan
Kedaulatan Rakyat (Yogyakarta) 1945-1947, Jakarta, Balai Pustaka, 2000, hlm. 19
[4] Ahmat Adam, Op.Cit., hlm.
XIII-XV
[5] Sartono Kartodirdjo, Pengantar
Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional Dari Kolonialisme sampai
Nasionalisme Jilid 2, Jakarta, Gramedia, 1990, hlm. 113