Saat ini generasi muda Indonesia menikmati karunia terbesar dari perjuangan para pahlawan dimasa lalu, yaitu kemerdekaan. Meski banyak masalah yang menerpa bangsa ini, tapi masalah itu tidak sesulit masalah yang dihadapi bangsa Indonesia pada masa perjuangan. Mulai dari agresi militer Belanda I, gejolak yang terjadi di daerah – daerah, perpecahan di tubuh tentara, pemberontakan PKI Madiun, agresi militer Belanda II dan pemberontakan Westerling.
Tak terbayangkan oleh presiden Soekarno dan wakil presiden Hatta, bahwa negara yang baru berumur belum genap satu tahun ini sudah harus dihadapkan pada masalah - masalah berat. Masalah – masalah tersebut mampu membalikkan keadaan bangsa Indonesia menjadi terjajah kembali oleh Belanda atau NKRI terpecah belah menjadi negara - negara kecil, apabila ditangani dengan cara yang tidak tepat.
Salah satu masalah yang sangat berat dan hampir mengakhiri hidup republik Indonesia adalah agresi militer Belanda II. Peristiwa ini diawali oleh serentatan masalah - masalah yang tidak terselesaikan oleh pihak Indonesia maupun pihak Belanda. Kita ketahui sebelumnya Belanda pernah menjajah bangsa Indonesia. Pada awalnya Belanda hanya berupaya untuk melakukan perdagangan rempah - rempah dengan bangsa Indonesia pada tahun 1596 dibawah pimpinan Cornelis de Houtman di Banten. Pada tahun 1602 dibentuklah VOC sebagai solusi mengatasi perselisihan dan persaingan antar sesama pedagang swasta Belanda. Pada masa inilah Belanda mulai berniat menjajah bangsa Indonesia.
Perlu “digaris bawahi” bahwa penjajahan yang dilakukan Belanda pada bangsa Indonesia tidak dilakukan secara serentak bersamaan di seluruh wilayah Indonesia. Kepulauan Malukulah daerah tujuan pertama Belanda untuk monopoli dagang, dengan alasan sangat produktif sebagai sumber penghasil rempah - rempah (Ricklef:1991). Setelah cukup kuat di Maluku, Belanda mulai melakukan ekspansinya ke Jawa (Banten) pada tahun 1611. Upaya penaklukan wilayah Sumatera, Kalimantan dan Papua Barat secara keseluruhan baru dimulai pada tahun 1870-an, pasca perang dunia ke I dan berkembangnya paham imperialisme di Eropa (Kozok:2010).
Pada tahun 1942 Jepang menyerang Indonesia dan berhasil mengalahkan Belanda. Belanda dipaksa meninggalkan Indonesia pasca kekalahannya dari pasukan Jepang. Setelah berkuasa sekitar tiga setengah tahun di Indonesia dengan segala macam penindasan dan penyiksaan yang dilakukan Jepang pada bangsa Indonesia. Pada tahun 1945 Jepang mengalami rentetan kekalahan dalam perang Asia Timur Raya dengan sekutu. Puncaknya pemboman kota Hirosima dan Nagasaki yang mengakibatkan Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu.
Hal ini merupakan angin segar bagi bangsa Indonesia. Pada saat terjadinya vakum of power (kekosongan kekusaan) ini Soekarno dan Hatta dengan segera memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia. Belanda tidak mengakui kemerdekaan bangsa Indonesia dan ingin kembali menjajah bangsa Indonesia. Berdasarkan perjanjian Posdam yang dibuat negara sekutu pemenang perang, bahwa negara - negara sekutu diperbolehkan kembali menjajah negara - negara jajahannya yang sempat terlepas akibat perang dunia ke II.
Belanda melakukan tindakan - tindakan sepihak untuk mengahancurkan republik Indonesia. Mulai dari alienasi dan pelucutan senjata pasukan Jepang di Indonesia oleh sekutu Inggris yang coba dimanfaatkan Belanda untuk terlibat perang dengan bangsa Indonesia. Peperangan dengan sekutu diakhiri dengan gencatan senjata dan diikat dengan perjanjian Linggarjati pada November 1945. Pada 21 Juli 1947 Belanda melanggar perjanjian Linggarjati dengan melakukan agresi militer I. Kali ini aksi militer Belanda mendapat kecaman luar biasa dari dunia internasional. Terutama Amerika yang merupakan pensuplai dana dan logistik pada Belanda dalam perang dunia II.
Belanda dipaksa melakukan perundingan dengan republik Indonesia yang dimediasi oleh Amerika di atas kapal Renville pada 8 Desember 1947. Namun Belanda dari awal sudah enggan untuk melepaskan negara kaya sumber daya alam Indonesia dari “genggamannya”. Maka pada 19 Desember 1948 Belanda kembali lagi melakukan agresi militernya pada republik Indonesia. Agresi militer ke II ini jauh lebih keras dan dahsyat dengan target penakklukan ibukota sementara republik Indonesia Yogyakarta dan menangkap presiden Soekarno dan wakil presiden Hatta.
Pasca tertangkapnya dua pemimpin republik Indonesia, praktis kegiatan pemerintahan republik Indonesia terhenti. Namun presiden Soekarno sebelum tertangkap mengamanatkan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk melakukan perlawanan bersenjata kepada Belanda. Rakyat bersama dengan tentara melakukan serangkaian perang gerilya terhadap pasukan Belanda.
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia
Sebelum kota Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda, pada tanggal 19 Desember 1948 Soekarno dan seluruh kabinet mengadakan rapat darurat yang menghasilkan keputusan, pengamanatan pelaksana pemerintahan republik Indonesia kepada Mr. Syafrudin Prawiranegara, yang kemudian dikirimkan melalui “surat kawat”. Jika Mr. Syafrudin Prawiranegara tidak mampu melaksanakan pemerintahan, maka pemerintahan diamanatkan pada Dr. Soedarsono, Palar dan Maramis.
Pada saat Yogyakarta diserang pasukan Belanda, Mr. Syafrudin Prawiranegara sedang berada di Bukittinggi. Sedangkan Dr. Soedarsono, Palar dan Maramis berada di India. Namun faktanya “surat kawat” yang dikirimkan presiden Soekarno tidak pernah benar - benar sampai ke tangan Mr. Syafrudin Prawiranegara di Bukittinggi (Zed:1997). Akses informasi “surat kawat” sudah diputus oleh Belanda jauh sebelum Belanda melakukan serangan ke Yogyakarta.
Di Bukittinggi Belanda menyebarkan pamflet yang menyatakan bahwa kota Yogyakarta telah dikuasai Belanda. Dengan desakan Kolonel Hidayat, dengan segera Syafrudin mengadakan rapat pembentukan pemerintahan darurat. Namun rapat tersebut tidak menghasilkan keputusan apapun, karena dengan segera pasukan Belanda menyerang Bukittinggi. Sebelum Syafrudin meninggalkan Bukittinggi pada 21 Desember, mereka sepakat untuk membentuk PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia).
Mereka meninggalkan Bukittinggi menuju Payakumbuh tanpa sempat memikirkan susunan kabinet sementara dalam PDRI. Dalam perjalanan menuju Payakumbuh, yakni di Halaban dilakukan rapat untuk membentuk kabinet PDRI. Kemudian perjalanan dilanjutkan dengan membagi dua rombongan, rombongan pertama dipimpin oleh Mr. Syafrudin sendiri dengan tujuan Bidar Alam. Rombongan kedua dipimpin oleh Mr. St. Moh. Rasjid dengan tujuan Kototinggi.
Rombongan Syafrudin tiba di Bidar Alam sekitar 24 Januari 1949. Di Bidar Alam Syafrudin dan rombongan kabinet PDRI tinggal sekitar tiga bulan sambil melaksanakan kegiatan pemerintahan. Namun keberadaan Syafruddin segera diketahui Belanda. Setelah terjadinya pemboman fron Muara Labuh, Syafrudin kembali meninggalkan Bidar Alam menuju Sumpur Kudus.
Baru pada sekitar 29 Januari 1949 jalur informasi radiogram aktif dipergunakan. Segera setelah aktif Jawa mengirimkan informasi kepada ketua PDRI. Jawa menyatakan dukungan sepenuhnya kepada PDRI dan menegaskan bahwa Jawa tetap melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Situasi darurat militer di Indonesia segera ditanggapi dunia internasional dalam sidang DKPBB di Paris. Pada tanggal 24 Januari PBB disponsori Amerika serikat mengeluarkan resolusi perdamaian, pembebasan presiden RI dan menugaskan KTN untuk membantu menyegerakan perdamaian.
Pada 22 Juni 1949 Belanda mulai menarik mundur pasukannya dari kota Yogyakarta. Pada tanggal 23 Agustus 1949 dilaksanakanlah sidang Konferensi Meja Bundar antara Indonesia dengan Belanda. Setelah disetujuinya perundingan KMB, maka secara resmi Indonesia menjadi negara serikat.
Setelah kota Yogyakarta kembali ke tangan republik Indonesia, pejabat pelakasana pemerintah PDRI kembali ke Yogyakarta dari Payakumbuh. Pada tanggal 13 Juli Mr. Syafrudin beserta segenap anggota kabinet menemui presiden Soekarno, memberikan laporan pemerintahan PDRI dan diakhiri pengembalian amanat kekuasaan yang diberikan kepadanya kembali pada Presiden Soekarno.
Oleh : H. Harahap