Senin, 11 Juni 2012



SRUKTUR POLITIK NEGARA-NEGARA MERDEKA di ASIA TENGGARA
Oleh : Deka M.S.



A.     PENGANTAR
Pasca menyerahnya Jepang pada pasukan sekutu, hampir semua daerah pendudukan Jepang di Asia Tenggara mengalami kekosongan kekuasaan (vacum of power). Penindasan yang dialami daerah Asia Tenggara (kecuali Thailand) melahirkan kesadaran nasional di kalangan bangsa-bangsa di Asia Tenggara yang mencapai puncaknya pada pembentukan negara nasional.
Meskipun  pola  umum  perjuangan dalam membentuk  negara  merdeka di Asia Tenggara didasari oleh nasib (penjajahan dan penindasan) yang sama,  namun  karena  adanya  faktor-faktor  intern  dan  ekstern  yang  berbeda-beda,  maka  menyebabkan corak dan  dinamikanya pun berbeda. Oleh karena itu tidak mudah pula melihat perkembangan dan pembentukan  negara  nasional di Asia Tenggara.
B.     PEMBAHASAN
a)    Struktur politik negara-negara merdeka di Asia Tenggara secara umum
Berdasarkan administratif pemerintahan, di Asia Tenggara pasca perang dunia II terbentuk sepuluh negara merdeka: enam berada di daratan benua Asia (Mainland Southeast Asia) Kamboja, Laos, Vietnam (disebut kawasan Indocina), Thailand, Malaysia dan Myanmar, dan empat negara berada di pulau dan kepulauan sekitarnya ( Insular Southeast AsiaSingapura, Brunei, Indonesia, dan Filipina.

b)   Bentuk negara dan sistim pemerintahan
Pada dasarnya semua negara di asia tenggara berbentuk republik kecuali Thailand, Malaysia dan Brunai. Adapun yang paling terkhir mengalami perobahan struktur pemerintahan dari sistim kerajaan ke sistim republik adalah Laos dan Kamboja.[1]
Barangkali hanya Asia Tenggaralah yang memiliki hampir semua corak pemerintahan, dari sistem monarki absolut (Brunei)[2], monarki konstitusional (Thailand, Malaysia)[3], demokrasi liberal (Filipina), demokrasi sosialisme, (Vietnam, Kamboja dan Laos), diktator militer (Myanmar), quasi-demokrasi (Singapura), demokrasi Pancasila (Indonesia).

c)    Pembentukan Negara Nasional di Asia Tenggara
Terbentuknya negara nasional dengan struktur politik yang beragam di Asia Tenggara pasca kolonial tidak terlepas dari pengaruh internal dan eksternal, diantaranya:
1.      Ideologi.
Sebagian negara-negara Asia Tenggara mengikuti jalan komunis sebagian lagi mengikuti jalan liberal. Bentrokan yang keras antara penganut komunis dan liberal terjadi ketika Perang Dingin. Perbedaan ideologi ini menjadi sumber konflik di Asia Tenggara, baik konflik dalam negeri (nasional) atau pun konflik kawasan (regional). Perbedaan idiologi seringkali menimbulkan perang saudara di beberapa negara Asia Tenggara. Sebagai contoh perang Vietnam, yang berujung pada kemenangan komunis Vietnam dibawah pimpinan Ho Chi Minh menciptakan Republik Sosialis Vietnam. Begitupun dengan Laos, kemenangan komunis Phatet Lao melawan  kelompok nasionalis, meruntuhkan sistim monarki dan menggantinya dengan Republik Rakyat Laos yang berpaham komunis. Sementara Philipina yang mengalami pendudukan Amerika, mengikuti sistim liberal seperti Amerika Serikat.
2.      Sistem politik.
Negara-negara Asia Tenggara memiliki berbagai sistem politik yang unik. Thailand dan Malaysia masih memiliki sistem kerajaan yang sejajar atau beriringan dengan sistem politik modern. Singapura menerapkan sistem politik ala Barat tetapi masih memelihara tradisi. Filipina sama sekali menganut sistem politik yang liberal persis seperti Amerika Serikat. Sebaliknya Brunei masih dipimpin seorang Sultan, mengingatkan pada sistem kesultanan masa lalu. Sementara itu negara-negara Indocina bertahan dengan sistem sosialis yang sentralistis.
3.      Instabilitas internal dalam setiap unit sistem politik masing-masing negara.
Di setiap negara Asia Tenggara senantiasa terdapat akar-akar dan potensi konflik internal. Berbagai pemberontakan dan gerakan separatis mengancam keutuhan negara-negara asia tenggara. Pada saat terbentuknya negara-negara modern di Asia Tenggara, mereka tidak lagi bersatu berdasarkan kesamaan etnisitas dan identitas, melainkan sudah menentukan dirinya berdasarkan identitas kewarganegaraana negara modern yang terbentuk itu. Dengan kata lain, warisan kebijakan kolonial di masa lalu meninggakan bom waktu dalam pembentukan negara merdeka.

d)   Ciri-ciri struktur politik negara-negara asia tenggara
1.      konfigurasi (distribusi dan tingkat) kekuasaan dalam struktur politik.
Munculnya kekuatan politik yang dominan (mayoritas) yang menekan minoritas menyebabkan negara-negara Asia Tenggara sering dilanda konflik internal. Di sini dapat disebut bahwa adanya hegemoni dari kekuatan mayoritas, baik etnik maupun golongan dalam mendominasi percaturan politik negara ditentang kekuatan minoritas.
2.      Permasalahan Integrasi Nasional.
Pada awal pembentukan negara-negara merdeka di asia tenggara, masalah integrasi menjadi persoalan yang rumit, baik masalah integrasi nasional yang berkaitan masalah etnik ataupun ideologi. Tingkat integrasi di masing-masing negara tergantung daripada karakter dan frekuensi interaksi diantar anggota kekuatan politik internal di masing-masing negara.
3.      Hubungan antara sistem subordinat dengan dominan.
Ciri umum struktur politik di negara-negara Asia Tenggara terlihat adanya penetrasi kekuatan politik dominan. Misalnya sistim politik Burma (Myanmar) pasca merdeka yang dikuasai orang Burma yang menyebabkan suku bangsa Karen, Shan, Kachin dan Chin mengangkat senjata melawan pemerintahan Myanmar. Selain di Myanmar, di Malaysia pun, etnik melayu menguasai politik negara tersebut, sehingga menimbulkan pertentangan dengan etnik Cina dan India.
4.      Keterlibatan militer dalam politik di negara-negara asia tenggara
Munculnya generasi perwira baru pasca kolonial membawa persepsi ideologis, peranan, serta tingkah laku yang berbeda. Apalagi jika diingat perwira-perwira ini direkrut dari lapisan menengah, yang makin kuat di semua negara tersebut. Karena itu, makin terbuka ide-ide reformasi, serta kecenderungan untuk memperkuat lembaga politik nonmiliter di negaranya masing-masing.
Peranan politik tentara Burma, yang sejak zaman pendudukan Jepang sudah merupakan pelopor perjuangan kemerdekaan di bawah kepemimpinan "30 Thakin", yang dilatih Jepang di Pulau Hainan. Kekacauan-kekacauan yang terjadi setelah kemerdekaan, khususnya pada akhir 1948, ketika 60 pcrsen tentara berada di pihak pemberontak (komunis dan separatis Karen), berlanjut selama 1950-an dalam berbagai krisis, tentara Burma kemudian mengambil alih kekuasaan dari tangan PM U Nu pada 1962. Selama periode kritis itu, tentara sebagai suatu lembaga politik juga dipersonifikasikan dalam diri Ne Win, yang sejak 1945 menjadi Pangab Burma, dan satu-satunya yang tetap di militer dari "30 Thakin" tadi. Ne Win berhasil melembagakan peranan militer dengan dibentuknya partai tunggal BSPP (Partai Program Sosialis Burma) pada 1964. Pelembagaan politik ini dimungkinkan karena pimpinan tentara Burma dari generasi Ne Win adalah bekas aktivis mahasiswa radikal, yang dalam persepsi politiknya melihat bahwa dominasi militer hanyalah suatu proses transisi sampai terbentuknya partai tunggal yang didukung negara.
Di Muangthai, kudeta-kudeta militer seringkali terjadi. Hampir setiap pemilu yang diadakan di negeri ini terjadi percekcokan antara sipil dan militer yang seringkali berujung kudeta. Namun satu yang perlu dicatat, setiap kali terjadi kudeta, kedudukan raja tidak pernah diusik-usik.
Begitupun di Indonesia dengan konsep Dwifungsi ABRI di masa Suharto, yang mencakup fungsi sospol di samping fungsi hankam. khususnya dalam pelembagaan politik ABRI.
Namun berbeda dengan Singapura dan Malaysia justru didominasi oleh pemerintahan sipil tanpa keterlibatan militer dalam politik praktis. Pemuda-pemuda Singapura harus dipaksa masuk militer. Akibatnya, banyak yang keluar setelah masa dinasnya selesai atau terjadi kecenderungan ke arah terbentuknya "perwira-sarjana". Pembangunan ekonomi memang menyebabkan lulusan-lulusan terbaik masuk ke birokrasi sipil ataupun ke perusahaan-perusahaan. Terpaksa, gaji perwira-perwira dibuat setinggi-tingginya, demikian juga fasilitas lainnya, untuk mengimbangi itu. Tak heran bila Singapura, yang diperintah sipil, tercatat sebagai negara yang mempunyai anggaran belanja hankam paling tinggi di Asia Tenggara.
Dibandingkan Singapura, tentara Malaysia berbeda dalam satu hal penting, yakni adanya masalah etnis. Seluruh tentara Malaysia terbagi atas 64,5 persen orang Melayu dan 35,5 persen orang non-Melayu (data 1969). Persentase ini makin besar untuk orang Melayu pada tingkat perwira, dan boleh dikatakan jabatan penting semuanya di tangan orang Melayu. Dengan demikian, hak-hak istimewa orang Melayu pada Konstitusi dicerminkan terutama Angkatan Bersenjata Diraja, yang jabatan-jabatan puncaknya juga dipegang oleh perwira yang memiliki ikatan sosial dengan keluarga kerajaan dan pimpinan UMNO. Dari sudut ini Angkatan Bersenjata "menjamin" bagi dominasi Melayu, yang dicerminkan oleh kekuatan pamungkas, RMR (Royal Malay Regiment -- Resimen Melayu Kerajaan).
Vietnam-Laos-Kamboja, dimana dominasi militer di akomodasi Partai Komunis dengan adannya Komite Militer Pusat Partai, yang memiliki komissar sampai ke tingkat paling bawah dari hirarki militer.
Filipina, gejala seperti yang terjadi di Muangthai, yakni perbedaan dalam korps perwira. Protes perwira-perwira "reformis Yang tidak puas dengan kebijakan negara, terutama jika terjadi kekacauan dalam sistem politik Filipina.
C.     PENUTUP
Penindasan yang cukup lama, mendorong kesadaran nasional (nasionalisme) di kalangan bangsa-bangsa di Asia Tenggara. untuk membentuk negara nasional yang berdaulat, walaupun perkembangan pembentukan masing-masing negara di Asia Tenggara itu berbeda dalam corak dan dinamikanya. Berbagai polemik-polemik harus dihadapi negara-negara Asia Tenggara dalam membentuk suatu identitas negara-bangsa (nation state) yang berdaulat. Pembentukan negara-negara nasional di Asia Tenggara paska-kemerdekaan dengan struktur politik yang beragam menciptakan banyak permasalahan yang adakalanya menimbulkan kekacauan politik yang berimbas timbulnya perang saudara. Semua peristiwa ini telah mentransformasikan kawasan ini menjadi bagian yang sangat strategis sekaligus sensitif dalam percaturan politik internasional. 

DAFTAR PUSTAKA

AM. Sardiman. 1973. Kemenangan  Komunis  Vietnam  dan  Pengaruhnya  Terhadap Perkembangan Politik di Asia Tenggara. Yogyakarta: Liberty 

Budiono  Kusumohamidjojo. 1985. Asia Tenggara  Dalam  Perspektif  Netralitas  dan  Netralisme. Jakarta: PT. Gramedia 
Djalinus Syah. 1988. Mengenal ASEAN dan Negara-negara Anggotanya. Jakarta: Kreasi Jaya Utama 

Hall, DGE. 1988. Sejarah Asia Tenggara. Surabaya: Penerbit Nasional


Roeslan  Abdulgani. 1978.  Asia  Tenggara  di  Tengah  Raksasa  Dunia. Jakarta:  Lembaga  Pembangunan, 

Wiyono. 1982. Sejarah  Asia  Tenggara  Modern. Yogyakarta: IKIP  Sanata  Dharma






[1] Sejak masa negara tradisional, Kamboja dan Laos berbentuk monarki (kerajaan). Namun pada tanggal 9 Oktober 1970 pasca kudeta jendral Lon Nol terhadap kekuasaan Sihanouk, bentuk kerajaan Kamboja  dirubah menjadi Republik Khmer. Begitupun dengan Laos, pada tanggal 1 Desember 1975, raja Savang Vattana turun tahta dan kekuasaan diambil alih oleh Souvanna Vong yang merubah bentuk negara  menjadi Republik Rakyat Laos.
[2] Sultan kerajaan Brunai berperan tidak hanya sebagai kepala negara, namun juga menjabat sebagai kepala pemerintahan, pemimpin politik dan pemimpin agama bagi bangsanya.
[3] Dalam sistm monarki konstitusional, raja hanya sebagai simbol belaka karena pembatasan konstitusi. Pemerintahan dijalankan oleh perdana menteri.