Minggu, 26 Februari 2012

SEJARAH CANDI - CANDI MUARAJAMBI


            Kawasan Percandian Muarajambi  terletak lebih kurang 40 Km dari kota Jambi atau 30 Km dari Ibukota Kabupaten Muaro Jambi. Secara astronomis situs ini berada pada 103 22’ BT hingga 103 45’ BT dan 1 24’ LS hingga 1 33’ LS. Secara administratif daerah – daerah yang tercakup dalam kawasan candi – candi Muarajambi mencakup tujuh wilayah desa, yaitu Desa Dusun Baru, Desa Danau Lamo, Desa Muarajambi, Desa Kemingking Luar dan Desa Kemingking Dalam, Desa Teluk Jambu, Desa Dusun Mudo. Ketujuh desa tersebut masuk ke dalam wilayah Kecamatan Maro Sebo, Kabupaten Jambi, Provinsi Jambi.
            Informasi tertua yang berhubungan dengan daerah Jambi ditemukan pada Naskah Berita Dinasti Tang (618-906 M) yang menyebutkan kedatangan utusan Kerajaan Mo-lo-yeu ke Cina pada tahun 644 M dan 645 M. Pendeta Budha I-Tsing pada tahun 672 M ketika melakukan perjalanannya ke Nalanda India untuk memperdalam ajaran Budha, menyempatkan singgah selama 2 bulan di Mo-lo-yeu untuk memperdalam bahsa Sansekerta. Ketika beliau kembali dari India dikatakan Mo-lo-yeu tahun 692 M telah menjadi bagia dari Shih-lifo-shih (Sriwijaya). Suatu keadaan yang ditafsirkan erat dengan Prasasti Karangbrahi (686 M) yang ditemukan di wilayah Jambi Hulu.  Berita Cina pada tahun 853 M dan 871 M, menyebutkan kedatangan misi dagang dari Chan-pi atau Pi-chan. Berita Dinasti Sung (960-1279 M) menyebutkan bahwa Chan-pi merupakan tempat bersemayamnya Maharaja San-fo-si (Sriwijaya), rakyatnya tinggal pada rumah – rumah panggung tepi sungai, sedangkan raja dan para pejabatnya bermukim di daratan. Sekitar abad ke – 11 Masehi Chan-pi menobatkan raja di negerinya sendiri dan mengirim utusan ke Cina pada tahun 1079, 1082 serta 1088 M sebagai pemberitahuan bahwa Chan-pi telah menjadi negeri yang berdaulat.
Perkembangan Kebudayaan
            Para ahli menafsirkan kawasan candi – candi Muarajambi terkait erat dengan lokasi pengajaran Budhisme di Swarnabhumi (Swarnadwipa) atau pulau Sumatera. Salah satu sumber asing dalam sejarah Thu-bkan-blo-bzan-Chos-kyi-ni-ma dan Brom-ston-pa’s stora menyebut Dipamkara Srijana (Atisa) menerima Upadesa dari Bodhicitta dari seorang guru bernama Dharmakirti di Suvarnadvipa. Dipamkara belajar kepada Dharmakirti selama 12 tahun tentang Bodhicitta, pranidhana dan avatara. Dalam kisah perjalanannya di Swarnadwipa (Sumatera) Atisha menulis : “saya dipersilahkan tinggal di istana berpayung Perak” untuk mencurahkan seluruh waktunya untuk pelajaran, pemikiran, dan samadi.
            Periodesasi kawasan candi – candi Muarajambi berdasarkan hasil penelitian arkeologi pada bangunan – bangunan bata seperti Candi Tinggi, Candi Gampung, Candi Astano, Candi Kembarbatu, Candi Gedong I, Candi Gedong II, Candi Tinggi I, Candi Kedaton, Candi Teluk, Kota Mahligai dan Kedaton dan lainnya. Di Candi Gumpang pernah ditemukan sebuah arca Prajnaparamita (Dewi pengetahuan dalam sistem pantheon Budha pradjaparamita dengan sikap tangan mudra). Arca ini mirip dengan arca yang ditemukan di Jawa yang bergaya Singhasari berasal dari sekitar abad ke – 13 M. Di Candi ini juga ditemukan kertas emas. Berdasarkan bentuk aksara pada kertas emas tersebut diperkirakan berasal dari sekitar abad ke – 9 sampai dengan 10 M. Selain itu, di sekitar Candi juga ditemukan pecahan keramik Cina yang sebagian besar berasal dari masa Dinasti Song-Yuan (abad ke – 11 sampai 14 M), memungkinkan juga berasal dari masa yang lebih tua, yaitu dari Dinasti T’ang (abad ke – 8 sampai 9 M).

            Dari berbagai hasil kajian para ahli disimpulkan sementara ini bahwa kawasan Percandian Muarajambi merupakan peninggalan kerajaan Melayu Kuno yang berlatarbelakang kebudayaan Budha Mahayana yang berdiri dari abad ke – 7 sampai dengan 13 M. Berdasarkan sumber sumber tertulis asing, dikatakan bahwa kawasan percandian Muarajambi di masa lalu dijadikan tempat pengajaran Budhisme untuk mempersiapkan diri belajar ke Nalanda. Menurut laporan yang ditulis I-Tsing “jika biarawan dari Cina ingin pegi ke India untuk mendengarkan ajaran – jaran dan mempelajari kitab – kitab ajaran (asli), sebaiknya ia tinggal di sini (Sriwijaya) selama satu atau dua tahun untuk mempersiapkan dan melatih diri tentang cara – cara / aturan – aturan yang benar sebelum menuju India”.

            I-Tsing juga menuliskan tentang keberadaan parit atau kolam di Nalanda yang mirip dengan temuan di kawasan Percandian Muarajambi. Dilaporkan oleh I-Tsing bahwa di Nalanda tidak ditemukan tempat khusus buang air, sehingga untuk buang air dilakukan di parit atau di ladang. Kamar mandi juga tidak tersedia, meski demikian, ada ruangan – ruangan kecil di salah satu biara yang dilengkapi yang dilengkapi dengan lempengan batu untuk memncuci pakaian. Waktu mandi di Nalanda ternyata sangat teratur. Pada waktu tertentu di pagi hari, ditandai dengan bunyi genta, seluruh penghuni mandi bersama. Para penghuni keluar dari kamar, masing – masing dengan pakaian untuk mandi di kolam di alam terbuka. Secara khusus I-Tsing menggambarkan “kadang – kadang seratus, kadang seribu Bhiksu keluar dari biara secara serentak dan menuju kolam dari segala arah, dimana mereka mandi”. Ada sepuluh kolam besar di kampus Nalanda.

            Kawasan Percandian Muarajambi masa lalu diduga memiliki hubungan penting dengan Budhisme Tibet. Dalai Lama XIV Tibet Tenzin mengatakan “Ada hubungan antara Indonesia dan Tibet dimasa lalu”. Sekitar 1.000 tahun lalu, pada abad ke – 10, seorang guru besar dari India mengunjungi Swarnadwipa (Sumatera) dan menimba ilmu (agama Budha). Orang suci dari India itu kemuadia diundang ke Tibet untuk mengajarkan ilmunya disana. Jadi melalui cara itu, kita juga punya hubungan khusus. Ada hubungan antara Budhisme di Indonesia dengan Budhisme Tibet.       
Oleh : Agus Widiatmoko